Perfilman Indonesia Kurang Mendapat Tempat di Negerinya Sendiri

Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni Budaya dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Drs. Ukus Kuswara, MM (Foto: Indra Nugraha)*

[Unpad.ac.id, 9/11/2012] Film tak hanya sebuah tontonan atau hiburan semata. Ia memiliki kekuatan yang sangat luar biasa terutama untuk mempengaruhi cara pandang orang yang menontonnya. Suatu bangsa akan maju apabila filmnya kuat dan tidak ada satu bangsa pun saat ini kuat tanpa didukung oleh perfilmannya.

Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni Budaya dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Drs. Ukus Kuswara, MM (Foto: Indra Nugraha)*

“Terlepas dari apakah menang dan kalah tetapi kita tahu dulu bagaimana ekspansi Amerika  ke Vietnam. Pada saat itu, posisi orang Vietnam lebih kuat dari Amerika. Tetapi, dengan film Rambo semua negara di dunia menganggap Amerika hebat saat itu,” tutur Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni Budaya dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Drs. Ukus Kuswara, MM., ketika membuka kegiatan Sosialisasi UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang digelar oleh Ikatan Alumni Unpad dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI di Bale Rumawat kampus Unpad Dipati Ukur, Jumat (9/11).

Lebih lanjut, Ukus Kuswara juga memaparkan berbagai macam kondisi perfilman Indonesia di era sekarang ini. Bioskop sebagai salah satu tempat untuk mengapresiasi film semakin hari semakin menghilang. Dari 1000 gedung bioskop dengan kurang lebih 2000 layar, kini hanya tersisa 172 gedung bioskop dengan hanya 676 layar di seluruh Indonesia.

Film juga menurutnya merupakan salah satu cerminan dari pribadi dan budaya bangsa kita. Namun ketika berbicara mengenai produksi film, ia juga menjelaskan bahwa film Indonesia seakan menjadi tamu di rumahnya sendiri. Pertunjukan film Indonesia itu sendiri selalu dibawah film asing yang beredar. “Dibandingkan dengan film import selalu kita kalah. Selalu kita dibanjiri dengan film-film import, itu artinya kita dibanjiri budaya asing,” jelasnya.

Padahal, undang-undang telah mengatur mengenai pemenuhan ketersediaan film Indonesia untuk memenuhi kuota pertunjukan sebesar 60%. Namun, fakta yang terjadi di lapangan menunjukan justru film asing lah yang lebih banyak ditonton oleh bangsa kita.

“Di undang-undang ada digariskan 60% harus film Indonesia yang ditayangkan di bioskop itu, 40% film asing. Sekarang, film indonesia belum mencapai 60% tapi film asing yang lebih. Oleh karena itu kita perlu memfasilitasinya,” ujarnya.

Berbagai macam persoalan dalam perfilman Indonesia juga sempat Ukus Kuswara sampaikan diantaranya dalam hal pengembangan penelitian perfilman yang hampir tidak ada di negeri ini yang berimplikasi pada teori serta pengetahuan perfilman kita dewasa ini.

Dalam hal pembiayaan industri perfilman negeri ini juga harus terbentur dengan beberapa masalah seperti industri perfilman belum bankable, belum ada kebijakan khusus peningkatan akses pembiayaan non bank, belum ada dukungan pembiayaan film yang sistematis dari pemerintah, kebijakan investasi eksibisi belum terbuka, serta belum adanya insentif eksibisi untuk investor lokal.

Hal-hal tersebut juga diperparah dengan potensi sumber daya manusia (SDM) perfilman di Indonesia. Disetiap fungsi perfilman, jumlah SDM kita masih kurang memadai, tidak ada standar kompetensi SDM, tidak ada kebijakan perlindungan SDM perfilman, serta tidak ada kurikulum berstandar nasional untuk SDM perfilman.

Melihat berbagai macam permasalahan yang terjadi, Ukus Kuswara juga berharap seluruh proses yang terjadi di dalam perfilman nasional itu secara sistem harus terus dibina dan dikembangkan. “Kondisi pembinaan dan pengembangan perfilman, mulai dari produksi, distribusi, eksibisi, apresiasi, dan study itu harus secara sistem dikembangkan,” jelasnya. *

Laporan oleh: Indra Nugraha / eh*

Share this: