Perlu Ada Kesadaran untuk Meningkatkan Eksistensi Suku Sunda

[Unpad.ac.id, 18/12/2012] Sebagai salah satu suku bangsa besar di Indonesia, Sunda haruslah memiliki eksistensinya. Kenyataannya, suku Sunda saat ini punya banyak persoalan-persoalan yang mencuat ke permukaan. Apabila dibiarkan, bisa jadi nama besar suku Sunda ke depan hanya bisa dikenang dalam buku-buku sejarah.

Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia saat menyampaikan materi pada Kursus Dasar Kebudayaan Sunda yang diselenggarakan di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad, Jatinangor. (Foto: Tedi Yusup)

Hal tersebut disampaikan Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, saat memberikan pengantar dalam kegiatan “Kursus Dasar Kebudayaan Sunda” yang digelar oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Unpad, Selasa (18/12) di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad Jatinangor. Menurutnya, dari segi wilayah Sunda pun telah mengalami penyempitan wilayah. Terlebih saat ini banyak daerah yang membentuk provinsi sendiri di Jawa Barat.

“Wilayah Sunda di Jawa sendiri sebenarnya dimulai di daerah Cimanuk (Banten) sampai Cipamali (Jawa Tengah). Namun, saat ini banyak wilayah yang memisahkan diri, seperti Banten dan DKI Jakarta. Bahkan, Cirebon pun ingin membentuk provinsi sendiri,” ungkap Rektor.

Istilah Sunda sendiri pada zaman dahulu dikenal dengan istilah “Sunda Besar” dan “Sunda Kecil”. Wilayah “Sunda Besar” mencakup empat pulau besar di Indonesia, yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali. Sementara untuk wilayah “Sunda Kecil” mencakup Kepulauan Lombok. Barangkali, kedua istilah tersebut belum banyak diketahui oleh masyarakat, termasuk di masyarakat Sunda sendiri. “Mungkin ada istilah sistematis yang ingin menghilangkan istilah Sunda,” jelasnya.

Problematika saat ini adalah eksistensi suku Sunda yang kalah saing dengan suku bangsa lainnya. Berdasarkan data yang dipaparkan Rektor, Angka Partisipasi Kasar (APK) di Jawa Barat tahun 2009-2010 sekitar 47,82 %. Jumlah tersebut membuat Jawa Barat berada di peringkat 3 terendah di Indonesia. Begitu pun untuk presentase angka lama sekolah, di Jawa Barat sendiri hanya berkisar 8 tahun saja.

“Begitu halnya dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menduduki peringkat ke-17 dengan nilain 72,29%. Hal ini disebabkan salah satunya ialah tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) di Jabar sekitar 24.000 kasus setiap tahunnya,” papar Rektor.

Data tersebut belum lagi ditambah dengan data kerusakan lingkungan dan rendahnya kesadaran masyarakat Sunda untuk menjaga budayanya sendiri. Dari segi bahasa dan tradisi, orang Sunda mulai banyak yang meninggalkan bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasinya. Selain itu, diperkirakan 500 kesenian tradisional Sunda mati dan tidak ada regenerasi lebih lanjut. “Maka, nama besar Sunda yang hanya bisa dikenang dalam buku Sejarah akan jadi nyata,” ungkap Rektor.

Untuk itu, dalam kursus tersebut diharapkan ada upaya untuk meningkatkan kembali kesadaran sebagai orang Sunda. Rektor sendiri menyimpulkan untuk meningkatkan kesadaran tersebut tentunya harus diniatkan oleh masing-masing individu. Sebab, masa depan Sunda sepenuhnya menjadi tanggung jawab setiap masyarakat Sunda sebelum tergerus oleh budaya-budaya lain yang masuk dan berkembang.*

Laporan oleh Arief Maulana/mar

Share this: