Kurang, Kesadaran Masyarakat Sunda Menjaga Budaya Sunda

Rektor menyematkan tanda peserta kepada salah satu peserta “Kursus Dasar Kebudayaan Sunda” di Bale Rucita Gedung Rektorat Unpad, Jatinangor, Selasa (29/01). (Foto oleh: Tedi Yusup)

[Unpad.ac.id, 29/01/2013} Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, memaparkan, suku bangsa Sunda merupakan suku bangsa terbesar kedua di Indonesia. Namun, eksistensi dari suku bangsa yang besar tersebut secara perlahan semakin hilang seiring dengan masuknya budaya-budaya luar serta perkembangan zaman.

Rektor menyematkan pin kepada salah satu peserta “Kursus Dasar Kebudayaan Sunda” di Bale Rucita Gedung Rektorat Unpad, Jatinangor, Selasa (29/01). (Foto oleh: Tedi Yusup)

“Saat ini saja, bahasa Sunda sebagai alat komunikasi masyarakat Sunda sudah tidak dipakai lagi oleh masyarakatnya,” ujarnya saat memberikan pengantar dalam “Kursus Dasar Kebudayaan Sunda”, Selasa (29/01) di Bale Rucita Gedung Rektorat Unpad Kampus Jatinangor. Kursus yang digelar oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unpad ini digelar selama dua hari, 29-30 Januari 2012.

Lebih lanjut Rektor menjelaskan, kesadaran masyarakat Sunda untuk sadar menjaga budayanya sangat kurang. Hal ini dibuktikan dengan sekitar 500 jenis kesenian Sunda hampir punah karena tidak ada regenerasi pemainnya. Ciri sikap sejati dari manusia Sunda pun sudah sangat sulit ditemui dalam sikap keseharian masyarakat Sunda zaman kiwari.

“Bisa jadi beberapa tahun ke depan, nama besar dari suku Sunda hanya bisa diketahui kebesarannya dari buku-buku sejarah,” ujar Rektor.

Beragam persoalan alam, sosial, dan budaya yang terjadi saat ini turut menjadi penyebab semakin melemahnya eksistensi suku Sunda. Padahal, dulu Sunda dikenal sebagai sebutan untuk Wilayah Indonesia Barat yang meliputi, Sunda Besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi), serta Sunda Kecil (Kepulauan Nusa Tenggara).  Saking kaya akan pesona keindahan alamnya, grup musik Bimbo pun menulis lirik lagu “waktu Tuhan tersenyum lahirlah Pasundan”.

“Wilayah Sunda di Jawa sendiri sebenarnya dimulai di daerah Cimanuk (Banten) sampai Cipamali (Jawa Tengah). Namun, saat ini banyak wilayah yang memisahkan diri, seperti Banten dan DKI Jakarta. Bahkan, Cirebon pun ingin membentuk provinsi sendiri,” ungkap Rektor.

Oleh karena itu, Rektor pun berharap melalui kursus tersebut setidaknya dapat melahirkan paling tidak kepedulian terhadap bahasa dan budaya Sunda. Sebab, kesadaran sebagai orang Sunda setidaknya harus dimulai dari tiap-tiap individu orang Sunda. “Di Unpad sendiri sudah ada program Unpad Nyaah ka Jabar, dan bahasa Sunda sudah masuk ke dalam statuta Unpad sebagai bahasa pengantar perkuliahan, selain Bahasa Indonesia dan Inggris,” jelas Rektor.

Kursus kali ini merupakan kursus kedua yang digelar oleh LPPM Unpad setelah kursus pertama pada Desember tahun lalu. Ada 12 rangkaian kursus yang akan digelar dengan target peserta setiap kursus sebanyak 40 orang. Selain Rektor, pembicara dalam kursus ini ialah Prof. Dr. Johan Iskandar, Dr. Kuntana Magnar, S.H., Dr. Ade Kosasih, M.Ag., Dr. Mumuh Muhsin Z., M.Hum., Dr. Reiza D. Dienaputra, M.Hum., Drs. Tedi Muhtadin, M.Hum., Drs. Taofik Ampera, M.Hum., Lili Suparli, S.Sn., M.Sn., dan Dr. Gugun Gunardi, M.Hum., terkait dengan aspek agama, politik, sosial, sejarah, dan budaya.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh *

Share this: