Paradoks Pertanian Indonesia, Negeri Agraris Tapi Tanpa Kedaulatan Pertanian

Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad, Prof. Dr. Maman Haeruman Karmana, Ir., MSc., saat memberikan orasi ilmiah purnabaktinya berjudul “Membangun Kedaulatan Pertanian”, Rabu (25/09) di Bale Sawala Gedung rektorat Unpad Kampus Jatinangor. (Foto: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 25/09/2013] Pertanian di Indonesia saat ini berada dalam situasi paradoks, negeri agraris namun tidak memiliki kedaulatan pertanian. Kondisi ini nyatanya sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda.

 

Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad, Prof. Dr. Maman Haeruman Karmana, Ir., MSc., saat memberikan orasi ilmiah purnabaktinya berjudul “Membangun Kedaulatan Pertanian”, Rabu (25/09) di Bale Sawala Gedung rektorat Unpad Kampus Jatinangor. (Foto: Tedi Yusup)*

Hal itulah yang disampaikan Guru Besar Fakultas Pertanian (Faperta) Unpad Prof. Dr. Maman Haeruman Karmana, Ir., M.Sc., saat memberikan orasi ilmiah purnabaktinya berjudul “Membangun Kedaulatan Pertanian”, Rabu (25/09) di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad Kampus Jatinangor. Menurutnya, sejak zaman Belanda sistem pertanian di Indonesia sudah terbagi menjadi dua, yaitu sistem ekonomi pribumi (bumiputera) dan sistem ekonomi perkebunan (kapitalis).

“Sistem ekonomi pribumi terbagi menjadi 3 bagian, yaitu padi, holtikultura, serta perkebunan rakyat. Ironisnya, perkebunan yang dikelola rakyat pun hanya menghasilkan bahan mentah yang tidak langsung diolah,” ujar Prof. Maman.

Guru Besar Bidang Pembangunan Pertanian itu mengungkapkan, saat ini warisan sistem pertanian tersebut rupanya tidak mengalami transformasi yang signifikan. Bahkan, kaum kapitalis kini telah merambah lahan-lahan pertanian tradisional, yaitu dengan melakukan konversi lahan petani tradisional oleh pihak-pihak perkotaan.

“Karena kemiskinan, para petani tradisional pun banyak meninggalkan lahannya sehingga kemudian diambil alih oleh pihak kapitalis di kota,” jelasnya.

Adanya polarisasi di bidang penggunaan teknologi seperti pupuk dan pestisida pun turut memngaruhi perkembangan ekonomi tradisional. Dampak dari polarisasi tersebut menyebabkan ada golongan petani kaya dan miskin.

Mengapa timbul polarisasi tersebut? Prof. Maman mengungkapkan ada beberapa kondisi yang menyadi penyebab, yaitu brain drain, capital drain-cap flight, land brain, dan water drain.

“Kondisi inilah yang menyebabkan adanya lingkaran setan kemiskinan dan kemakmuran di beberapa desa. Desa yang terjebak di lingkaran kemiskinan akan menjadi desa yang sepi dan tua karena kehidupannya sudah tidak menarik,” ungkapnya.

Pengambil alihan lahan oleh pihak kapitalis perkotaan disebabkan karena kota merupakan rahim dari kelompok kapitalis. Ketidakjelasan UU Pokok Agraria juga disinyalir menjadi penyebab banyaknya lahan-lahan pedesaan yang diambil oleh pihak kapitalis.

Oleh karena itu, guru besar kelahiran Pangalengan, 14 September 1943 itu menawarkan konsep agropolitan, yaitu mengotakan desa dan mendesakan kota di bidang pertanian.  Kota, seharusnya bisa menjadi pemasok kebutuhan masyarakat desa, khususnya segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan kaum petani. Sementara di kota sendiri menggalakkan sistem pertanian yang berbasis pada teknologi, seperti aeroponik maupun hidroponik.

“Pertanian di kota itu minimal bersifat transisi, tidak perlu seperti pada pertanian desa yang berbasis land base agriculture. Minimal, setiap rumah dapat menanam tanaman warung hidup, apotik hidup, dan dapur hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ungkapnya.

“Tekait kedaulatan pertanian, kita harus mampu kreatif dan inovatif agar bagaimana pertanian tradisional dapat berdaulat tanpa dikonversi terlebih dahulu oleh pihak-pihak kapitalis,” tambahnya.

Orasi ilmiah ini digelar dalam rangka Dies Natalis ke-56 Faperta Unpad. Prof. Maman pun mendapatkan kenang-kenangan yang diberikan langsung oleh Dekan Faperta Unpad, Prof. Dr. Benny Joy, Ir., M.S.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh *

Share this: