Salah satu adegan dalam lakon "Jas Panjang Pesanan" di Pidangan Seni Budaya Rumawat ke-66, Jumat (31/01) di Bale Rumawat Unpad Bandung (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 31/01/2014] Kemajuan peradaban dan industri tidak lantas membawa perubahan yang baik. Para pekerja dituntut menjadi “robot” yang bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan kaum kapitalis demi meraup keuntungan. Mereka pun terancam dipecat jika sudah tidak mampu lagi bekerja sesuai dengan keinginan si pemilik modal.

Salah satu adegan dalam lakon "Jas Panjang Pesanan" di Pidangan Seni Budaya Rumawat ke-66, Jumat (31/01) di Bale Rumawat Unpad Bandung (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Salah satu adegan dalam lakon “Jas Panjang Pesanan” di Pidangan Seni Budaya Rumawat ke-66, Jumat (31/01) di Bale Rumawat Unpad Bandung (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Hal itulah yang terlukis dalam tokoh Fender, seorang klerk tua dalam lakon “Jas Panjang Pesanan” karya Wolf Mankowitz. Revolusi industri membawa angin perubahan bagi negara-negara Eropa, namun Fender justru terpuruk. Usia yang telah tua menjadi penyebab dirinya sudah takmampu lagi menjadi klerk di perusahaan konveksi milik Ranting, majikannya.

Lakon ini dipentaskan oleh Studiklub Teater Bandung (STB) dalam Pidangan Seni Budaya Rumawat Padjadjaran ke-66, Jumat (31/01) di Bale Rumawat Kampus Iwa Koesoemasoemantri Unpad, Bandung. Disutradarai oleh IGN. Arya Sanjaya, lakon ini dimainkan oleh aktor senior Abah Raksa (Morry), Gatot Wahyu Dwiyono (Fender), Kemal Ferdiyansyah (Ranting), dan Deden Syarif (Klerk Muda).

Di awal babak dengan pencahayaan yang sedikit redup, Morry, penjahit jas tua sahabat kental Fender, mengisahkan saat-saat terakhirnya bersama Fender. Sama-sama tua, keduanya adalah potret kaum yang tersisih zaman. Meskipun begitu, keduanya masih saling bergurau dan menikmati sebotol brandy di sela-sela tekanan kerja.

”Fender si tua itu mati,” gumamnya. ”Katanya, ’kau adalah penjahit yang baik,’ begitu dia berkata kepadaku. Ini, jas ini buktinya, ia memperlihatkan jasnya kepadaku. Kataku, tentu, jas yang baik tahan dipakai sampai 20 tahun,” ujar Morry sambil mengingat percakapan dengan Fender.

Fender yang telah bekerja selama 43 tahun tersebut semakin tidak mampu menghadapi tekanan kerja dari Ranting. Memakai jas lusuh dan berlubang di sana sini, sehingga taklagi menghangatkan tubuh Fender ringkih dari dingin. Sehingga, Fender pun meminta Morry untuk memperbaiki jas tuanya.

Namun, Morry menolak permintaan Fender. Jas tersebut sudah tidak bisa diperbaiki. Morry kemudian menawarkan Fender untuk membuat jas panjang baru seharga 10 pound, harga yang sangat murah untuk satu jas dengan kualitas baik . Fender pun menyanggupi tawaran tersebut dan ia akan mencicilnya.

Takdir berkata lain, Ranting memecat Fender karena dianggap sudah tidak layak dipekerjakan. Ia kemudian mempekerjakan seorang klerk muda yang lebih gesit bekerja. Keadaan ini justru membuat Fender semakin terpuruk. Ia pun meninggal dunia setelah membayar cicilan pertama sebesar 40 Schilling kepada Morry.

“Anak kecil yang dulu selalu mengekorku, kini malah berbalik memecatku,” desis Fender kepada Morry sebelum kematiannya.

Menjelma menjadi “hantu”, Fender pun menemui Morry yang telah menyelesaikan jas panjang pesanannya. Fender rupanya menolak jas tersebut. Ia ingin mengambil hak terakhirnya, yaitu jas berbulu domba dari perusahaan Ranting. Sambil mabuk dan berjalan sempoyongan, keduanya pun berjalan menuju bekas ruang kerja Fender.

Dengan pengadeganan yang jenaka, Fender pun dapat mengambil jas haknya tanpa diketahui oleh Ranting. Setelah memakai jas, Fender pun pulang menuju “hotel” terakhirnya. Adegan ini menjadi akhir dari lakon yang diterjemahkan oleh almarhum Suyatna Amirun, salah seorang penggagas berdirinya kelompok STB.

Lakon bergaya surealis ini dihadirkan secara realis dan diselingi oleh beragam humor. Sesekali, penonton pun tertawa ketika tokoh menghadirkan nuansa humor dalam percakapannya. Sebagai bentuk kenang-kenangan atas pertunjukan STB, Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia pun memberikan cinderamata kepada Yati Suyatna Anirun, istri dari almarhum Suyatna Anirun.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh *

Share this: