Dr. Kalman A. Muller (kanan) saat menjadi narasumber di seminar “Kamoro, Suku dari Pesisir Selatan Papua” yang diselenggarakan oleh Program Studi Antropologi FISIP Unpad di Bale Santika, Unpad Jatinangor, Selasa (21/04). (Foto oleh: Purnomo Sidik)*

[Unpad.ac.id, 21/04/2015] Ketika berbicara mengenai suku di Papua, masyarakat Indonesia biasanya akan lebih banyak menyebut Suku Asmat atau Suku Dani. Padahal, Papua memiliki ribuan suku dan sub suku. Salah satunya adalah Suku Kamoro, suku yang berasal dari pesisir selatan Papua.

Dr. Kalman A. Muller (kanan) saat menjadi narasumber di seminar “Kamoro, Suku dari Pesisir Selatan Papua” yang diselenggarakan oleh Program Studi Antropologi FISIP Unpad di Bale Santika, Unpad Jatinangor, Selasa (21/04). (Foto oleh: Purnomo Sidik)*
Dr. Kalman A. Muller (kanan) saat menjadi narasumber di seminar “Kamoro, Suku dari Pesisir Selatan Papua” yang diselenggarakan oleh Program Studi Antropologi FISIP Unpad di Bale Santika, Unpad Jatinangor, Selasa (21/04). (Foto oleh: Purnomo Sidik)*

Tokoh pemerhati Papua, Dr. Kalman A. Muller mengatakan bahwa sangat sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan penelitian mengenai suku-suku di Papua. Penelitian lebih banyak dilakukan oleh peneliti luar negeri. Padahal, apabila peneliti Indonesia yang melakukan penelitian di Papua, maka akan lebih mudah terutama dalam segi biaya dan perizinan dibandingkan oleh peneliti luar negeri.

Jika ada pun, penelitian yang dilakukan tidak terlalu mendalam. Hasil penelitiannya sangat ringan. “Jadi kalau di sini ada dosen, jangan terima skripsi mahasiswa yang ringan. Harus betul-betul ada ‘daging’nya,” ujar Dr. Kalman saat menjadi salah satu pembicara pada Seminar Sharing Session dan Expo “Kamoro, Suku dari Pesisir Selatan Papua”. Acara diselenggarakan oleh Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad di Bale Santika, Unpad kampus Jatinangor, Selasa (21/04).

Selain Dr. Kalman, turut hadir sebagai pembicara adalah Luluk Intarti (salah seorang anggota tim Dr. Kalman) dan Dr. Ira Adrianti Winarno (dosen FSRD ITB), serta moderator dosen Antropologi FISIP Unpad, Dr. Selly Riawanti. Acara dibuka oleh Rektor Unpad, Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr.

Selama 20 tahun, Dr. Kalman dan tim selain melakukan penelitian juga berusaha mengangkat kembali seni dan budaya Suku Kamoro yang perlahan hilang ditelan modernitas. Salah satu seni yang ia coba angkat adalah seni ukir khas Kamoro. Hasil ukiran masyarakat Kamoro pun ia bantu jual. Selain mencoba untuk menghidupkan kembali warisan budaya dari leluhur Kamoro, ia juga membatu masyarakat disana untuk memperoleh uang tunai.

“98% ukiran yang beli orang bule. Kenapa orang Indonesia tidak beli? Kenapa orang Indonesia tidak bisa menghargai ukiran-ukiran atau adat dari daerah Papua?” ujar pria kelahiran Hungaria ini.

Dr. Kalman pun mendorong para mahasiswa Antropologi yang hadir untuk lebih mengenalkan budaya asli Indonesia ini kepada masyarakat luas. “Susah, orang Indonesia tidak bisa menghargai. Ya kalau tidak kenal. Siapa yang bisa kasih kenal? Orang-orang Antropolog,” tuturnya.

Pada kesempatan tersebut, para peserta seminar pun turut diperkenalkan pada masyarakat dan budaya suku Kamoro melalui film dokumenter dan presentasi yang ditayangkan. Diketahui, masyarakat Suku Kamoro sangat dekat dengan seni tari, nyanyi, dan ukir. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat sangat bergantung pada kekayaan alam, terutama sungai dan laut. Namun, bukan berarti masyarakat suku ini sama sekali tidak tersentuh budaya modern. Sentuhan modernitas bahkan ditakuti perlahan-lahan akan menghilangkan keaslian budaya Kamoro.

Luluk mengungkapkan, salah satu keunikan dari ukiran khas Kamoro adalah tidak adanya bentuk ukiran yang sama persis untuk dua atau lebih benda, terutama dari pengukir yang sama. Ukiran yang dibuat pun lebih banyak yang mengandung cerita atau unsur legenda.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Share this: