Melihat Upaya Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan dari Prof. Hendarmawan

Prof. Dr. Ir. Hendarmawan, M.Sc

[unpad.ac.id, 18/12/2017] Universitas Padjadjaran meraih penghargaan internasional “Green Award 2017” dari The Green Organisation, 11 Desember lalu. Penghargaan diberikan berkat penelitian terkait pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan oleh sejumlah dosen lintas keilmuan. Lalu, bagaimana sebenarnya penelitian tersebut dilakukan?

Prof. Dr. Hendarmawan, Ir. M.Sc., (kedua dari kanan) bersama Dekan FTIP Unpad Dr. Edi Suryadi, M.T., (kedua dari kiri) dan Dosen FTG Unpad Dr. Cipta Endayana, M.T., (paling kiri) saat menerima penghargaan “Green Award 2017” di Dubai, 11 September lalu.*

Dekan Sekolah Pascasarjana Unpad yang juga ketua tim penelitian “sustainable water resources” Prof. Dr. Hendarmawan, Ir., M.Sc., mengemukakan, penelitian ini berupaya mengonservasi ketersediaan air di daerah kawasan industri dan permukiman melalui rekayasa metode tertentu. Penelitian ini telah dilakukan Prof. Hendarmawan sejak 2007 silam.

Kepada Humas Unpad Prof. Hendarmawan menceritakan, pada 2007 penelitian ini pertama kali dilakukan di kecamatan Cicurug, Sukabumi. Di wilayah ini, tepatnya di bagian hilir berdiri suatu industri besar yang notabene akan menyedot cakupan air tanah dengan jumlah yang banyak. Sementara di wilayah hulu industri terdapat sejumlah permukiman warga.

Jika ketersediaan air tanah diambil terus menerus dengan jumlah yang banyak oleh pihak industri, maka dikhawatirkan beberapa tahun ke depan akan terus menyusut. Hal ini yang kemudian disiasati oleh Prof. Hendarmawan dan tim.

Di tahap pertama, penelitian dilakukan dengan mengembangan teknologi isotop stabil air tanah sekaligus membuat masterplan perencanaan rekayasa air tanah. Tahap ini menghabiskan waktu selama 4 tahun. Selanjutnya, pada 2011 penelitian berlanjut ke tahap 2, yakni dengan mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan, terutama bidang ilmu untuk melibatkan masyarakat.

“Paling tidak ada 7 bidang ilmu yang terintegrasi di tahap 2. Penelitian ini harus ada gerakan masyarakat. Masalahnya, bagaimana caranya memberdayakan masyarakat. Akhirnya saya rangkum berbagai ilmu tadi supaya masyarakat punya manfaat,” papar Prof. Hendarmawan saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (18/12).

Tujuh bidang ilmu tersebut meliputi: geologi, ilmu matematika dan pengetahuan alam, hidrogeologi isotop, geofisika, agrokompleks, ilmu komunikasi masyarakat, dan teknik sipil.

Aktivitas di tahap kedua menghabiskan waktu tiga tahun. Di tahap ketiga, pihaknya kemudian mencoba mengimplementasikan masterplan yang telah disusun di tahap pertama. Prof. Hendarmawan membangun rekayasa resapan air tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah.

Metode resapan ini dibangun di wilayah hulu, wilayah yang memiliki cadangan air yang jauh di dalam tanah. Beberapa empang sebagai tempat penampung air pun dibangun. Empang ini sekaligus mendorong masyarakat untuk memelihara ikan.

Prof. Hendarmawan juga membuat spreading air agar cadangan air tanahnya lebih dangkal. Diharapkan upaya ini dapat membuat tanah di hulu menjadi lebih subur. Dengan bantuan tim agrokompleks, tanah tersebut ditanami jenis tanaman tertentu yang bersifat ekonomi. Dengan demikian, hasil empang dan pertanian dapat dijual untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

Sementara itu, sektor industri di hilir juga didorong berperan meningkatkan perekonomian masyarakat. “Industri juga harus bantu masyarakat. Caranya, jika masyarakat di sana butuh modal, maka industri kasih modal. Masyarakat punya produk, industri berperan menjualkan,” jelas Prof. Hendarmawan.

Tahap ketiga menghabiskan waktu selama dua tahun. Di tahap keempat, pihaknya melakukan monitoring air tanah. Di kawasan industri dibangun beberapa sumur pantau yang bisa mendeteksi muka air tanah. Hasilnya, melalui rekayasa mikro ini, ketersediaan air di kawasan industri bertambah naik.

Adanya metode rekayasa ini menghasilkan hubungan sosial yang erat antara industri dan masyarakat. Selain bersifat transdisiplin, secara tidak langsung penelitian ini telah mengimplementasikan model kerja sama antara akademisi, industri, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Berhasil diterapkan di Sukabumi, model rekayasa ini juga tengah diterapkan di sejumlah wilayah, diantaranya, di kampus Unpad, Subang, dan Cianjur. Jika dihitung, satu penelitian dapat menghabiskan waktu selama 12 tahun.

Selain itu, penerapan teknologi isotop stabil ini diyakini tidak banyak digunakan di Indonesia. Prof. Hendarmawan pun dinilai menjadi sosok yang memelopori penggunaan teknologi isotop stabil di Indonesia.

“Teknologi ini jauh lebih aman dari isotop radioaktif. Di sisi lain, teknologi ini dapat menentukan ‘DNA’ air. Kita akan tahu air ini berasal dari mana,” jelasnya.

Didorong mendapat penghargaan

Ada cerita menarik dari keikutsertaan Unpad di ajang “Green World Award 2017”. Prof. Hendarmawan bercerita, keikutsertaan tersebut berawal saat ia mengajukan hibah internasional ke Uni Eropa.

“Beberapa teman-teman senior di Eropa tertarik dengan penelitian ini. Mereka pun mendorong saya untuk mengikutsertakan penelitian ini di lomba,” jelasnya.

Alasannya, penelitian ini sudah sampai pada taraf pelibatan transdisiplin ilmu. Di Uni Eropa sendiri, belum ada penelitian terkait ini yang melibatkan peneliti dari berbagai bidang ilmu.

Sejak dinyatakan sebagai pemenang penghargaan, penelitian ini selanjutnya akan dimuat dalam buku The Green Book, sebuah referensi internasional terkemuka terkait beberapa aplikasi pengelolaan lingkungan terbaik dari seluruh dunia. Harapannya, penelitian ini dapat diketahui oleh masyarakat dunia.

Dengan demikian, penelitian transdisiplin akan menghasilkan luaran yang lebih komprehensif. Hal inilah yang menjadi harapan Prof. Hendarmawan. Ia berharap, aktivitas penelitian transdisiplin di Unpad dapat meningkat.

“Saya rindu dengan iklim akademik dan risetnya tinggi dan merata di seluruh penjuru universitas, semua fakultas, semua dosen, dan semua mahasiswa,” pungkas Prof. Hendarmawan.*

Laporan oleh Arief Maulana

Share this: