[unpad.ac.id, 20/7/2018] Para akademisi berpendapat perlebahan saat ini menjadi sektor yang potensial. Tidak hanya potensial dari segi ekonomi, tetapi memiliki pengaruh kuat dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Ir. Yadi Supriyadi, M.S., (memegang mikrofon) tengah menjelaskan potensi lebah dari sisi ekonomi maupun konservasi lingkungan dalam acara diskusi bertajuk “Riset Unggulan Unpad dan Kerja Sama untuk Masyarakat Sejahtera (Riung Karsa) yang digelar Universitas Padjadjaran di The Sixty Two Cafe, Jalan Cisangkuy No. 62, Bandung, Jumat (20/7) sore. (Foto: Tedi Yusup)*

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Ir. Yadi Supriyadi, M.S., mengatakan, Indonesia memiliki 7 spesies lebah penghasil madu dari 9 spesies yang ada di tingkat dunia. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki sumber makanan lebah yang melimpah. Hal ini belum diperhatikan dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Riset Unggulan Unpad dan Kerja Sama untuk Masyarakat Sejahtera (Riung Karsa) yang digelar Universitas Padjadjaran di The Sixty Two Cafe, Jalan Cisangkuy No. 62, Bandung, Jumat (20/7) sore, Yadi mengatakan, masyarakat dunia mulai kembali meningkatkan populasi lebah. Ini dilakukan menyusul terancamnya populasi lebah akibat pencemaran lingkungan.

“Lebah menjadi tolok ukur untuk menilai mutu lingkungan. Jika di suatu lokasi terlihat lebah dan menetap lebih lama, berarti lingkungan tersebut secara ekosistem masih bagus,” kata Yadi.

Hal inilah yang menggugah Yadi untuk meneliti sekaligus mengembangbiakkan lebah di lahan kampus Arjasari. Ia mengatakan, jika kawasan hutan lindung lain juga tergerak untuk membudidayakan lebah, maka ancaman kepunahan lebah di Indonesia tidak akan terjadi.

Budidaya lebah juga menguntungkan sekaligus mampu mencegah kerusakan alam. Yadi menjelaskan, makanan utama lebah berasal dari hutan. Jika masyarakat mulai didorong untuk beternak lebah, aktivitas perambahan hutan tidak akan terjadi kembali.

Lebih lanjut ia menilai, jika Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah populasi lebah yang baik, hal ini mencermikan bahwa indikator lingkungannya masih baik. Untuk itu, pengembangan perlebahan juga butuh melibatkan pemerintah.

Dari sisi ekonomi, setiap 10 kandang atau stup lebah bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 5 – 6 juta rupiah per bulan. Proses budidayanya pun terbilang sederhana. Setiap koloni dalam satu kandang sudah dapat menghasilkan madu dalam dua bulan.

Potensi ini mendorong akademisi Unpad banyak meneliti tentang perlebahan. Hal ini membuat Unpad berhasil menjadi bagian dalam proyek konsorsium Horizon 2020 ICT-39 Uni Eropa, suatu program riset terbesar di Eropa. Konsorsium tersebut berfokus pada penelitian perlebahan berbasis teknologi digital “Smart Apiculture Management Service”.

Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad Dr. Dwi Purnomo, mengatakan, selama ini sektor perlebahan dianggap kurang menarik untuk dikembangkan. Padahal, sektor ini menjadi pintu masuk dari implementasi SDGs.

“Dengan beternak lebah, petani tidak lagi menunggu masa panen. Setiap bulan dia bisa mengambil madu. Masyarakat tidak lagi mengganggu hutan karena sudah mendapatkan hasil produksi dari lebah, serta karena hutan menjadi sumber makanan lebah. Akhirnya mereka mau menjaga hutan,” paparnya.

Setidaknya ada 11 fakultas yang sudah terlibat dalam konsorsium ini. Dalam proyek SAMS ini, Unpad mengembangkan sistem teknologi digital yang bisa mengontrol pergerakan koloni lebah. Hal ini memungkinkan petani mengetahui kondisi ekosistem maupun kualitas kandang tempat koloni tersebut menetap.

Proyek ini sebelumnya telah sukses diterapkan di Uni Eropa. Konsorsium ini merupakan tawaran Eropa untuk mengimplementasikannya di negara berkembang. Dalam konsorsium ini, Indonesia bersama  Ethiopia, dan negara lainnya bergabung untuk berupaya meningkatkan jumlah populasi lebah.

Dr. Dwi mengatakan, sejak Januari 2018, tercatat sudah 16 produk olahan madu yang telah dikembangkan oleh peneliti Unpad.

Aktivitas penelitian ini kemudian didukung oleh komunitas Common Room di Bandung. Dandi, salah satu perwakilan komunitas Common Room mengatakan, pihaknya tertarik untuk mendiseminasikan hasil penelitian akademisi Unpad untuk bisa diterapkan di masyarakat.

Menyehatkan Masyarakat

Rektor Unpad Prof. Tri Hanggono Achmad yang hadir dalam diskusi tersebut mengatakan, meningkatkan sektor perlebahan di Indonesia tidak bisa secara parsial. Berbagai unsur harus terkait.

“Secara alamiah, lebah memberikan potensi besar sebagai nutrien dan konservasi lingkungan,” kata Rektor.

Kultur masyarakat Indonesia, menurut Rektor, sudah sejak lama mengonsumsi madu. Ini berarti, masyarakat sudah sejak lama mengetahui bahwa madu baik untuk kesehatan. Dengan kerja sama riset ini, diharapkan mampu membangun kembali kultur masyarakat Indonesia yang rajin mengonsumsi madu.

Yadi menambahkan, impian mengembangkan budidaya madu di masyarakat juga untuk menyehatkan masyarakat sendiri. “Kami mendorong setiap peternak mampu mencukupi kebutuhan madu untuk keluarga sendiri. Jika sudah dirasa cukup, maka madu bisa dipasarkan lebih luas,” kata Yadi.

Diskusi “Riung Karsa” ini dipandu moderator Wakil Rektor bidang Riset, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Inovasi Akademik Unpad Dr. Keri Lestari, M.Si. Dr. Keri mengatakan, diskusi ini merupakan upaya Unpad dalam mendiseminasikan berbagai hasil penelitian yang dilakukan sivitas akademika kepada masyarakat.

Rencananya, diskusi “Riung Karsa” ini akan dilaksanakan setiap hari Jumat dengan mengangkat topik-topik tertentu dengan pembicara para akademisi dari Unpad.*

Laporan oleh Arief Maulana

Share this: