Webinar Dewan Profesor Unpad Paparkan Riset 3 Guru Besar Pokja Saintek

Laporan oleh Arif Maulana

secang; rugae palatine; covid-19; unpad; profesor unpad; berita unpad;
Webinar Dewan Profesor Unpad Pokja Saintek, Selasa (12/5) menampilkan paparan riset tiga Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, yaitu Prof. Dr. Sudradjat dari Departemen Matematika, Prof. Dr. Tati Herlina dari Departemen Kimia, serta Prof. Dr. Ratu Safitri dari Departemen Biologi.*

[unpad.ac.id, 12/5/2020] Tiga Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran memaparkan beragam pemikiran dan hasil penelitian dalam Seri Webinar Dewan Profesor Unpad Pokja Saintek, Selasa (12/5).

Tiga Guru Besar tersebut antara lain Prof. Dr. Sudradjat dari Departemen Matematika, Prof. Dr. Tati Herlina dari Departemen Kimia, serta Prof. Dr. Ratu Safitri dari Departemen Biologi. Webinar ini dimoderatori Prof. Dr. Wawan Hermawan, M.S.,

Dalam pemaparannya, Prof. Sudradjat menjelaskan mengenai penelitiannya tentang hubungan antara sidik jari dengan sidik rugae palatine pada sub-ras Detro Malayu. Penelitian ini mencoba mencari alternatif identifikasi identitas seseorang selain sidik jari apabila terjadi bencana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pemodelan matematika.

Rugae palatine merupakan rongga mulut bagian atas. Analisis awal, rugae palatine identik dengan sidik jari, sehingga dimungkinkan menjadi alternatif identifikasi apabila sidik jari rusak saat bencana terjadi.

Dekan FMIPA Unpad ini menjelaskan, ada banyak organ yang bisa dilakukan identifikasi forensik, seperti sidik jari, rambut, gigi, hingga darah. Namun, rugae palatine dinilai lebih individualistik dan terlindungi, sehingga diperkirakan akan tahan terhadap kerusakan saat bencana terjadi.

Bersama sejumlah peneliti lain dari Fakultas Kedokteran Gigi Unpad, Prof. Sudradjat mencoba menemukan rumusan sederhana untuk pemodelan rugae palatine. Dengan mengambil sampel terhadap 112 partisipan, tim berhasil menemukan model matematika untuk rugae palatine.

Rugae palatine ini sangat unik. Dari sampel yang 112 itu, tingkat kesamaannya adalah 1 : 1,075 Miliar. Maka ini bisa dijadikan alternatif untuk identifikasi forensik dalam menangani korban bencana,” kata Prof. Sudradjat.

Peneliltian selanjutnya adalah melakukan uji luas dan volume rugae palatine, serta uji kesamaan antara sidik rugae dengan sidik jari. Upaya ini membutuhkan kolaborasi lintas keilmuan yang lebih komprehensif.

Potensi Tanaman Lokal

Sementara Prof. Tati berbicara mengenai potensi metabolit sekunder dari tanaman Indonesia untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas Covid-19. Latar belakang penelitian ini didasarkan pada sifat dari penyakit Covid-19 yang berpotensi meningkatkan morbiditas pada penderitanya. Meskipun virus ini menyerang pernapasan, efeknya bisa sampai ke ginjal dan organ lain.

Gagal ginjal akut menjadi salah satu penyebab utama pada kasus gawat darurat Covid-19 yang berujung pada morbiditas dan mortalitas di rumah sakit. Penyebabnya diprediksi karena sepsis yang berujung pada sindrom badai sitokin.

“Salah satu penyebab sepsis adalah aktivasi xantin oksidase oleh virus SARS-Cov-2 sehingga menghasilkan asam urat dan radikal bebas,” kata Prof. Tati.

Prof. Tati telah meneliti sejumlah tanaman lokal Indonesia. Hasilnya, tanaman lokal Indonesia kaya akan inhibtor (penghambat) xantin oksidase. Sejumlah tanaman lokal yang sudah diteliti antara lain: binahong, tempuyung, kunyit hitam, lengkuas, hingga sirih,

Dijelaskan Prof. Tati, tumbuhan Indonesia yang mengandung metabolit sekunder golongan fenolik, flavonoid mempunyai aktivitas inhibitor xantin oksidase yang dapat menurunkan badai sitokin. “Namun, kami dari peneliti bahan alam masih membutuhkan kolaborasi lebih lanjut,” kata Prof. Tati.

Prof. Ratu sendiri membawakan presentasi mengenai potensi secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai antituberkulosis dan antivirus. Sebagai negara dengan kasus penderita tuberkulosis tertinggi kedua di dunia pada 2017, Indonesia membutuhkan beragam upaya untuk menangani penyakit ini.

Secang dipilih karena tanaman ini mengandung sejumlah senyawa menarik. Ekstrak kayu secang memiliki kandungan senyawa kimia seperti flavonoid, tanin, senyawa fenolik, dan sebagainya. Senyawa fenolik sendiri memiliki kemampuan kelasi besi yang dibutuhkan Mycobacterium tuberculosis (Mtb).

“Kebutuhan Mtb akan besi  dan kemampuannya mengikat besi inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa peneliti sebagai dasar produksi obat maupun antimikrobial untuk menanggulangi tuberkulosis,” ujarnya.

Menurut Prof. Ratu, ekstrak kayu secang memiliki banyak manfaat sebagai pembersih darah, pengelat besi, penawar racun, hingga antiseptik.*

Share this: