Dr. phil. N. Rinaju Purnomowulan, “Prihatin, Cerita Rakyat Justru Tidak Membuat Anak Mandiri dan Berintegritas”

Dr. phil. N. Rinaju Purnomowulan, dosen prodi Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad. (Foto oleh: Dadan T.)*

[Unpad.ac.id, 16/11/2015] Literatur anak di Indonesia kerapkali sarat dengan pesan moral. Pesan tersebut cenderung disampaikan secara konservatif, bahkan melalui alur cerita dan penokohan yang justru bertolak belakang dengan tujuan pengembangan kepribadian pembaca anak. Hingga saat ini literatur anak di Indonesia masih belum berhasil menunjang peningkatan kemampuan intelektual, emosional, spiritual, maupun kemandirian anak.

Dr. phil. N. Rinaju Purnomowulan, dosen prodi Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad.  (Foto oleh: Dadan T.)*
Dr. phil. N. Rinaju Purnomowulan, dosen prodi Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad. (Foto oleh: Dadan T.)*

Fenomena ini menjadi ketertarikan tersendiri bagi Dr. phil. N. Rinaju Purnomowulan, dosen prodi Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad. Sejak tahun 1996 ia secara intensif menekuni literatur anak sebagai objek penelitian dan bahan disertasinya di Johann Wolfgang Goethe-Universität, Jerman. Dari situ, Dr. Wulan melihat bagaimana perkembangan literatur anak di Jerman dan membandingkannya dengan perkembangan literatur anak di Indonesia.

“Literatur anak seharusnya menjadi media pengembangan seluruh aspek, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang ada dalam diri anak,” ujar Dr. Wulan saat diwawancarai Humas Unpad.

Ia menjelaskan, literatur anak di Jerman tidak lagi menekankan pada pemberian pesan moral secara eksplisit. Anak lebih dilatih untuk memahami berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan melalui literatur dengan bahasa dan sudut pandang yang disesuaikan dengan kategori usianya.

Pada praktiknya, setiap sekolah di Jerman menerapkan aktivitas literasi yang disebut dengan Literaturkanon atau daftar buku bacaan yang dianjurkan untuk digunakan sebagai bahan ajar serta bacaan. Selanjutnya, anak diberi ruang untuk memberikan pendapatnya terkait literatur anak yang telah dibacanya.

“Setiap anak didengar pendapatnya. Tidak ada pendapat yang salah. Semua pendapat diterima atau diperjelas dan diluruskan oleh guru,” jelas Dr. Wulan.

Melalui proses tersebut, anak diharapkan dapat lebih termotivasi dan mandiri dalam mengungkapkan pendapatnya. Aspek ini yang lebih ditekankan kepada anak, sehingga pembentukan karakter unggul individu anak dapat ditunjang dengan baik.

Ada beberapa aspek yang membedakan literatur anak di Indonesia dan Jerman. Dari segi cerita, literatur anak di Jerman lebih banyak berisi tentang aktivitas kehidupan sehari-hari, persahabatan, pemeliharaan lingkungan, hingga toleransi dengan makhluk hidup lainnya. Dr. Wulan menerangkan, hal tersebut berbeda dengan literatur anak di Indonesia, terutama dari berbagai cerita fiksi ataupun dongeng-dongeng yang diciptakan khusus untuk anak.

Sebagai contoh, cerita rakyat Indonesia sebagian besar berisi aneka kisah yang justru menanamkan sifat kebencian, kesombongan, ketidakadilan yang berakibat pada perilaku negatif. Ada beberapa peristiwa yang seyogyanya tidak dikonsumsi lagi oleh anak-anak.

Hal tersebut berbeda dengan apa yang dilihat Dr. Wulan selama meneliti di Jerman. Di sana, cerita rakyat sudah tidak lagi dibacakan kepada anak-anak, karena banyak mengandung berbagai nilai yang tidak manusiawi dan tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai kehidupan yang berlaku di masa kini.

humas unpad 2015_11_16 EOS 6D 09_58_23 00075527Selain itu, tema literatur anak di Jerman mengakomodir berbagai situasi yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jerman. Berbagai hal yang dianggap “tabu” juga disampaikan dengan baik melalui bahasa yang dimengerti anak. Menurut Dr. Wulan, literatur anak menjadi salah satu media untuk menempatkan anak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat.

“Pemuatan tema-tema seperti itu sama sekali tidak dipandang sebagai sesuatu yang dapat meracuni anak, tetapi sebaliknya,justru untuk membuat anak memahami dan mengerti akan berbagai persoalan yang ada dalam kehidupan manusia,” jelas dosen kelahiran Jember, 1 Maret 1959 tersebut.

Dari segi penulisan pun, literatur anak di Jerman menggunakan bahasa yang “akrab anak. Proses pembuatan literatur anak di Jerman, menurut Dr. Wulan, cukup panjang. Setelah menyelesaikan pengonsepan satu karya, penulis biasanya meminta masukan dari psikolog, pedagog, orangtua dan guru. Ini semua dilakukan untuk menjamin bahwa karya tersebut “layak baca” bagi anak.

Hal inilah yang menurut Dr. Wulan belum dilakukan di Indonesia. Di samping itu, ketiadaan Undang-undang Perbukuan yang jelas untuk mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan literatur anak, ditengarai menjadi penyebab belum berkembangnya literatur anak Indonesia.

“Mulai dari sekarang harus dipikirkan UU mana yang bisa memayungi pertumbuhan literatur anak itu, batasannya sampai dimana hingga tema apa saja yang boleh diangkat,” jelas penulis buku cerita anak berbahasa Jerman Melati im Land des Fuβballweltmeisters tersebut.

Dengan adanya UU tersebut diharapkan literatur anak dan remaja Indonesia dapat diterima secara internasional. Ia mengemukakan, pada ajang Pekan Raya Buku Internasional Frankfurt 2015, literatur anak Indonesia masih minim diperkenalkan ke dunia. Padahal, sebagai negara yang kaya dengan ragam budaya, Indonesia seharusnya unggul dalam khazanah literatur anak.

Menurut Dr. Wulan, editor buku mancanegara –khususnya Jerman– lebih meminati buku yang menunjukkan keseharian seorang anak dan remaja di negara asal buku tersebut diterbitkan. Dongeng dan cerita rakyat yang di dalamnya masih terdapat unsur-unsur yang tidak manusiawi, tidak diminati di mancanegara.

Untuk itu, ia mengusulkan ada modifikasi berbagai cerita rakyat Indonesia. Aspek cerita yang dinilai tidak manusiawi diubah dengan nilai-nilai positif yang diambil dari aktivitas kehidupan sehari-hari. Meski mungkin akan ada kontra dari masyarakat, namun upaya ini dinilai lebih efektif untuk membentuk karakter sang anak ketimbang menjejalinya dengan berbagai pesan moral.

“Sifat baik dan buruk di dalam cerita itu bisa tetap ada, tetapi bukan dalam bentuk saling membunuh, atau bentuk-bentuk kebrutalan lainnya. Ada cara lain yang lebih lunak, simpatik dan bisa mendamaikan,” kata Dr. Wulan.

Dalam proses modifikasi tersebut, struktur asli cerita rakyat yang ada sebaiknya memang tetap dipertahankan. Dengan demikian, Dr. Wulan berharap masyarakat dapat memahami modifikasi tersebut sebagai upaya untuk tidak lagi menanamkan nilai-nilai moral dengan cara konservatif.

Meneliti literatur anak menjadi ketertarikan tersendiri bagi Dr. Wulan. “Kok (cerita anak/ cerita rakyat) yang banyaknya justru pesan-pesan moralnya, yang bukan membuat anak percaya diri dan berani mengungkapkan keberadaan dirinya, kreatif dan mandiri, peka terhadap lingkungan, serta bertanggung jawab dan berintegritas. Inilah yang membuat saya prihatin,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh     

Share this: