Prof. Dr. Ida Nurlinda, SH., MH., “Perlu Lembaga Rekonsiliasi atau Peradilan Tanah untuk Tangani Sengketa Tanah”

Prof. Ida Nurlinda (Foto oleh: Dadan T.)

[Unpad.ac.id, 28/02/2015] Pemerintah telah menetapkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA pada dasarnya dibuat untuk mewujudkan keadilan agraria dalam arti masyarakat memiliki akses dan hak yang sama dalam hal penguasaan, kepemilikan, hingga pengelolaaan lahan dan sumber daya alam.

Prof. Ida Nurlinda (Foto oleh: Dadan T.)
Prof. Dr. Ida Nurlinda, SH., MH (Foto oleh: Tedi Yusup)

“Namun faktanya, selama 55 tahun UUPA berlaku, keadilan agraria belum juga terwujud.,” ujar Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum (FH) Unpad, Prof. Dr. Ida Nurlinda, SH., MH.

Banyaknya kasus sengketa tanah antara masyarakat dengan pemilik perusahaan merupakan salah satu contoh belum terwujudnya keadilan agraria. Padahal, kata Prof. Ida, kasus tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan melakukan rekonsiliasi. Nyatanya kasus ini acapkali diselesaikan dengan cara kekerasan.

Lebih lanjut Prof. Ida mengatakan, kasus sengketa biasanya diawali oleh perbedaan pendapat antara perusahaan dengan masyarakat terhadap suatu lahan. Perusahaan mengklaim lahan berdasarklan pemikiran dari Hak Guna Usaha yang diterbitkan lembaga terkait. Sementara masyarakat mengklaim lahan berdasarkan hukum adatnya.

“Seharusnya penyelesaian sengketa tersebut didasarkan pada keadilan korektif,” ujarnya.

Keadilan korektif menurutnya langkah untuk mengoreksi suatu kondisi yang tidak adil menjadi adil. Jika perusahaan memiliki lahan yang sangat luas sementara masyarakat tidak, maka kondisi ini dapat dikoreksi sesuai dengan azas dan kaidah hak bangsa dalam UUPA, dimana semua masyarakat punya akses terhadap lahan.

“Kalau keadilan agraria sifatnya hanya distributif,dan berbasis ekonomi, keadilan agraria itu tidak ada. Justru keadilan agraria harus berdasar pada keadilan koreksi. Mengoreksi struktur penguasaan dan pemilikan tanah, dimana satu orang menguasai tanah dalam jumlah besar, di sisi lain ada orang yang tidak punya tanah.tu yang harus dikoreksi,” jelas Guru Besar kelahiran Bandung, 28 Juli 1962.

Pemerintah pun dinilai menjadi penyebab masalah berkepanjangan tersebut. Peraturan yang tidak dijalankan dengan baik dan buruknya tata kelola kenegaraan diakui Prof. Ida sebagai kelemahan pemerintah.

Guru besar yang pernah menjabat Dekan FH Unpad periode 2009 – 2013 ini mengatakan, secara law in book, UUPA sudah cukup memayungi sektor agraria dan sumber daya alam. Hanya, secara law in action belum terlaksana dengan baik.

Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah seharusnya punya perencanaan keagrariaanyang komprehensif. Karena mencakup banyak sektor, penegakan Hukum Agraria ini idealnya dilakukan melalui Menteri Koordinasi (Menko) sehingga diharapkan koordinasi akan berjalan dengan baik. Penataan penyelenggaraan tugas-tugas pertanahan juga harus dilakukan.

“Saya pikir harus ada lembaga penyelesaian pertanahan secara ad hoc seperti membentuk lembaga rekonsiliasi. Karena masalah sengketa bisa diselesaikan dengan duduk bersama. Atau bisa juga dibentuk peradilan pertanahan. Seringkali kasus-kasus pertanahan dibawa ke peradilan umum, tidak akan menimbulkan keadilan karena berbasis pada bukti formal,” kata Prof. Ida.

Saat Presiden Joko Widodo membentuk Menteri Agraria dan Tata Ruang dalam kabinetnya, ada harapan untuk memajukan sektor agraria. Dengan demikian, menteri ini diharapkan mampu mengoordinasikan segala permasalahan di sektor yang bersinggungan dengan sektor lainnya.

Namun, segala kebijakan mengenai pengelolaan agraria dan SDA juga harus berlandaskan pada UUD 1945 Pasal 33 ayat 3. “Penyadaran bahwa hak-hak atas SDA dan tanah itu sebagai konstitusional right serta sebagai hak azasi manusia yang dijelaskan dalam Pasal 33 ayat 3,” imbuhnya.

Sementara itu, sebagai negara agraris Indonesia seharusnya mengedepankan sektor industri ke arah agraris. Kenyataannya, masih ada pendapat yang mengatakan bahwa kemajuan pembangunan bangsa harus menitikberatkan ke arah pembangunan industri manufaktur.

Passion kita itu di agraris. Mengedepankan industri agraris sebagai garda terdepan bangsa bukan berarti tradisional. Negara-negara seperti Afrika Selatan, Taiwan, Korea Selatan, bisa maju karena awalnya berbasis pada industri agraris,” kata Guru Besar yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang FH Unpad.

Bagi Prof. Ida, Hukum Agraria merupakan hukum yang dekat dengan rakyat. Ia yakin, Hukum Agraria merupakan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat, sebab hukum ini akan banyak bersinggungan dengan masyarakat kecil.

“Saya merasa makna hukum itu benar-benar ada di sana,” kata Prof. Ida.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh

Share this: