[unpad.ac.id, 25/08/2017] Dewasa ini, berkembangnya penyakit zoonotik, penyakit menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya, menjadi permasalahan baru di dunia kesehatan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, lebih dari 60% penyakit infeksi pada manusia merupakan penyakit zoonotik, serta 75% penyakit menular yang baru muncul (emerging disease) pada manusia merupakan penyakit zoonotik.
Guru Besar Fakultas Peternakan dan program studi Kedokteran Hewan Universitas Padjadjaran Prof. drh. Hj. Roostita L. Balia, M.App.Sc., PhD, mengatakan, persentase penyakit zoonotik yang tergolong menular baru mengalami peningkatan signifikan akibat berubahnya pola adopsi hewan dan konsumsi daging oleh manusia.
Ia menjelaskan, pola adopsi hewan oleh manusia saat ini kepada hewan ternak atau hewan yang bisa dipelihara, tetapi sudah merambah kepada hewan liar/hutan. Perburuan dan penjualan hewan liar di pasaran semakin bebas. Tidak jarang beberapa hewan hutan saat ini menjadi incaran untuk dipelihara.
Perubahan pola perilaku hewan dari liar menjadi peliharaan membawa pengaruh kuat dalam menyebarkan virus penyakit baru ke manusia. Prof. Roostita mengatakan, beberapa penyakit zoonotik saat ini berasal dari hewan liar dengan pola penyebaran yang beragam, yaitu bisa sebagai penular penyakit, atau bisa juga bertindak sebagai perantara yang membawa penyakit.
Selain diadopsi, beberapa hewan hutan saat ini marak dikonsumsi. Penyebaran daging hutan (bushmeat) di beberapa wilayah tergolong bebas tanpa aturan. Guru besar yang lahir di Mojokerto, 28 September 1950 ini mengungkapkan, hingga kini belum ada aturan jelas terkait pengawasan perburuan satwa yang bukan terkategori langka dan tidak dilindungi.
“Kalau sekarang bushmeat itu dijual secara terbuka, kalau (daging itu) ada virus, bagaimana? Maka jangan heran jika ditemukan penyakit SARS, Ebola, MERS, atau penyakit yang berasal dari hutan lainnya,” kata Prof. Roostita.
Penyebaran bushmeat ini juga dipengaruhi faktor budaya. Di beberapa wilayah, termasuk Indonesia, bushmeat dijual karena masyarakat secara turun temurun terbiasa mengonsumsi makanan itu. Bahkan, bushmeat sengaja dijual bebas karena dianggap berkhasiat bagi vitalitas tubuh.
Jika dikaitkan dengan hal ini, Prof. Roostita menyarankan untuk mengatur penjualan bushmeat. Sebaiknya, daging dijual dengan pengawasan ketat, seperti dijual terpisah dengan daging ternak atau produk komoditas lainnya, serta dijual dengan memperhatikan aspek lingkungannya.
“Kalau pemerintah menganggap (penjualan bushmeat secara bebas) itu tidak apa-apa, ya mangga saja. Tetapi kalau ada penyakit apa-apa nanti bingung memberantasnya darimana,” kata Prof. Roostita.
Mengantisipasi peningkatan zoonotik, masyarakat harus memiliki pengetahuan baik dalam menjaga kesehatan diri. Bagi masyarakat, khususnya pemelihara hewan liar atau yang rutin berinteraksi dengan bushmeat, wajib memeriksakan diri secara rutin ke dokter.
Hewan peliharaannya pun harus sering diperiksakan ke dokter hewan. Upaya ini setidaknya dapat meminimalisasi penyebaran zoonotik pada manusia.
Pengentasan zoonotik pula memerlukan kerja sama terintegrasi. Penyakit jenis ini tidak hanya ditangani oleh dokter umum saja, tetapi harus melibatkan peran dokter hewan dan ahli lingkungan. Pola ini dikenal dengan istilah integrasi one health.
Prof. Roostita menjelaskan, melalui integrasi ini, penanganan penyakit zoonotik dilakukan secara komprehensif. Penanganan penyakit manusia dilakukan oleh dokter umum/spesialis. Sementara dokter hewan akan melakukan penanganan intensif pada hewan, dan ahli lingkungan pun berperan memperbaiki keseimbangan ekosistem agar penyebaran zoonotik dapat dicegah.
Pola ini juga mendorong perubahan peran dokter hewan. Menurut lulusan program Doktor Animal Science di University of New South Wales tersebut, dokter hewan kini tidak lagi mengurusi kesehatan dan kesejahteraan hewan, tetapi juga berperan menjaga kesehatan manusia.
“Kita dokter hewan menjaga kesehatan manusia melalui kesehatan hewan,” kata Prof. Roostita.
Tingkatkan Penelitian
Secara global, ilmu kedokteran hewan saat ini berkembang pesat. Perkembangan ini juga menjadikan kurikulum pembelajaran ilmu kedokteran hewan berubah dinamis. Jika beberapa dekade ke belakang dokter hewan hanya mengurusi hewan-hewan ternak, sekarang mau tidak mau melakukan penanganan kepada seluruh hewan.
Penyebaran zoonotik juga mendorong peningkatan penelitian di bidang kedokteran hewan. Prof. Roostita mengatakan, penelitian terkait kedokteran hewan, terutama di bidang bushmeat meningkat di beberapa jurnal internasional. Malaysia disebut sebagai negara dengan penelitian bushmeat terlengkap.
Dengan melengkapi penelitian laiknya negara lain, Prof. Roostita mendorong jangan sampai pemangku kepentingan tidak mampu mengungkap berbagai penyakit baru akibat zoonotik. Ini dilakukan mengingat Indonesia kaya akan keanekaragaman hewan.
“Kita sudah harus mengantisipasi terus daripada bertindak kuratif,” kata Prof. Roostita.
Perkembangan ini juga menuntut kurikulum pembelajaran kedokteran hewan selalu dinamis. Prof. Roostita mengatakan, tantangan perkembangan ilmu kedokteran hewan saat ini direspons baik oleh Unpad. Penyelenggaraan prodi Kedokteran Hewan di bawah naungan Fakultas Kedokteran merupakan upaya untuk menanggulangi zoonotik.
Selain penguatan di akademik, pencegahan zoonotik juga harus menjadi komitmen para dokter hewan. Guna mewujudkan integrasi one health, dokter hewan harus mampu membuka pemikirannya dengan menggandeng seluruh pihak.
“Saya tidak ingin dokter hewan narrow minded (berpikir sempit). Kalau seperti itu mana bisa menjawab one health,” kata Prof. Roostita.*
Laporan oleh Arief Maulana