Sunardi, PhD, “Laju Kerusakan Lingkungan Jauh Lebih Cepat Dibanding Temuan Teknologi Baru”

[Unpad.ac.id, 18/04/2016] Proses pembangunan yang memacu urbanisasi dan modernisasi ternyata memberikan dampak serius bagi lingkungan. Lingkungan semakin tercemar oleh berbagai zat asing yang berbahaya. Keseriusan pemerintah dalam mengendalikan pencemaran lingkungan masih dipertanyakan.

Sunardi, PhD (Foto oleh: Dadan T.)*
Sunardi, PhD (Foto oleh: Dadan T.)*

“Berbagai kegiatan manusia dewasa ini telah banyak menghasilkan zat-zat asing yang sulit didegradasi oleh lingkungan alami,” kata Dosen prodi Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran Sunardi, PhD. Dosen yang mendalami Toksikologi Lingkungan ini menjelaskan, berbagai zat asing tersebut dihasilkan dari proses buangan berbagai sumber seperti, transportasi,  aktivitas pertanian, hingga limbah industri yang tidak komit dengan rekomendasi amdal.

Zat asing atau xenobiotic, jenisnya beragam, mulai dari logam berat seperti merkuri, arsen, kadnium, timbal, kalium; dan  karbon monoksida, serta zat pestisida  seperti, organoklorin, dan organofosfat, karbamat, atau karbon monoksidaposfat yang jumlahnya luar biasa. Jika racun tersebut terakumulasi di alam bebas, efeknya akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup organisme, termasuk manusia.

“Kalau senyawa-senyawa tersebut mencemari di  air nantinya akan terakumulasi ikan, dan jika ikan  dimakan manusia maka kontaminan tersebut menjadi terkumpul di tubuh. Gangguannya akan sangat bermacam-macam, mulai dari kanker, kemunduran mental, gangguan sistem reproduksi, kerusakan fungsi hati dan ginjal, bahkan ada yang mematikan,” papar Dosen kelahiran Sukoharjo, 30 Mei 1969 tersebut.

Sementara, emisi kegiatan industri dan transportasi akan meningkatkan konsentrasi  gas rumah kaca (GRK) di lapisan atmosfir. Kondisi ini menyebabkan suhu atmosfir meningkat menjadi fenomena pemanasan global, hingga menyebabkan anomali iklim.

Terkait pencemaran lingkungan, alumnus Program Doktor Saitama University Jepang ini telah melakukan berbagai penelitian. Dua penelitian yang telah dilakukannya terkait pendataan tingkat pencemaran di Sungai Citarum, Jawa Barat, serta uji zat-zat pencemar air tanah di kawasan Ciwalengke, Kecamatan Majalaya.

Pada penelitian di Sungai Citarum, Sunardi menemukan bahwa kandungan air sungai telah tercemar berat. Sekitar 40% pencemaran berasal dari limbah industri, sementara sisanya berasal dari limbah domestik. Meskipun beban limbah industri lebih sedikit, tetapi jenis-jenis zat yang dibuang  bahayanya jauh melebihi limbah domestik.

Sejak dari hulu, air sungai Citarum sudah tercemar oleh residu pestisida, industri, serta limbah peternakan. Menurut Sunardi, hal ini juga menyebabkan keanekaragaman hayati ikan yang hidup di Sungai Citarum berada dalam tingkat kritis. Di kawasan hulu, tidak lebih dari sepuluh spesies ikan yang masih mampu bertahan hidup, diantaranya: Keting, Betok, dan Sapu-sapu yang secara ekonomis memiliki nilai yang rendah. Sementara ikan-ikan budidaya di Waduk Saguling dan Cirata di kawasan aliran Sungai Citarum juga tercemar logam berat.

Selain pencemaran air, Sungai Citarum juga terancam oleh aktivitas penggundulan hutan di kawasan hulu. Lahan resapan air ini banyak berkurang akibat aktivitas konversi lahan. Kondisi ini membuat berkurangnya kemampuan lansekap mengendalikan air sehingga acapkali sungai meluap begitu musim hujan tiba.

Sementara penelitian di kawasan Ciwalengke Majalaya, Sunardi menemukan kualitas air tanah di kawasan tersebut telah tercemar logam berat. Pencemaran ini disebabkan oleh aktivitas buangan limbah industri terutama tekstil di daerah tersebut yang tidak dikontrol dengan baik.

“Industri tekstil ini membuang limbah cair yang mengandung logam berat, dan dibuang ke lingkungan tanpa diolah dengan baik. Limbah kemudian merembes ke air tanah dan air sumur, lalu digunakan untuk aktivitas masyarakat. Ini berhaya sekali kalau diminum terus-menerus oleh masyarakat,” papar Ketua Prodi Magister Ilmu Lingkungan Unpad tersebut.

Efek dari air tercemar ini, kata Sunardi, dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti gangguan syaraf, kanker, masalah reproduksi, fungsi hati dan ginjal,  hingga kemunduran mental pada anak-anak. Sayangnya efek ini baru akan muncul dalam waktu belasan atau puluhan tahun ke depan.

Sunardi mengatakan, disinyalir kondisi air tanah tercemar ini bukan hanya terjadi di Ciwalengke saja, namun juga di kawasan perindustrian lainnya.

“Kalau suatu kompleks di daerah industri dekat dengan permukiman penduduk kemudian limbahnya tidak diolah dengan baik, risikonya akan sama seperti di Ciwalengke,” tandasnya.

Laju Kerusakan Lingkungan
Apakah lingkungan tercemar bisa diremediasi kembali? Secara teoretis dan praktis, remediasir lingkungan yang tercemar bisa dilakukan. Namun, Sunardi tidak yakin proses pemulihan ini dapat berjalan dengan cepat.

“Laju kerusakan lingkungan itu jauh lebih cepat dan dramatis dibanding dengan temuan-temuan teknologi untuk memperbaikinya. Maka pendekatan yang paling baik adalah pengendalian,” ujar Sunardi.

Pengendalian yang dimaksud Sunardi ialah mengontrol setiap limbah aktivitas industri. Industri seharusnya berkomitmen dan mampu mengolah limbah dengan baik. Jika limbah yang dibuang mengandung berbagai senyawa beracun (toksik) logam berat, maka pabrik wajib melakukan treatment, sehingga zat berbahaya tidak terbuang dan merusak ekosistem.

“Begitu juga masyarakat, kalau mengonsumsi barang-barang dan makanan, sampahnya jangan dibuang sembarangan,” tambahnya.

Pemerintah juga memiliki wewenang penuh dalam mengawasi aktivitas industri. Jika suatu industri terbukti melanggar hukum dalam membuang limbah berbahaya, maka pemerintah wajib menindak tegas. Penegakan aturan standar baku mutu limbah harus ditegakkan dengan baik.

“Tetapi kita bisa mengendalikan dampak industri melalui teknologi, sementara pemerintah bisa mengendalikan melalui aturan. Hanya kalau pemerintah tidak punya political will yang kuat, semua teknologi untuk mengendalikan pencemaran tetap akan tidak bisa memberikan solusi,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh

Share this: