Sifilis adalah “Kado” Pertama Peradaban Barat bagi Pribumi

Gani A. Jaelani dan buku karyanya “Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942” (Foto oleh: Dadan T.)*

[Unpad.ac.id, 21/02/14] Di jaman pemerintahan kolonial Belanda, persoalan penyakit kelamin tidak hanya mencemaskan para dokter dan para moralis, tapi juga menimbulkan kekhawatiran pada tataran politik. Pada saat itu, pemerintah kolonial Belanda memberikan perhatian khusus pada persoalan penyakit kelamin. Hal ini ditandai dengan munculnya peraturan tentang praktik pelacuran pada tahun 1852 yang bertujuan menekan penyebaran penyakit kelamin.

Gani A. Jaelani dan buku karyanya “Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942” (Foto oleh: Dadan T.)*
Gani A. Jaelani dan buku karyanya “Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942” (Foto oleh: Dadan T.)*

“Tahun 1852 merupakan awal dari pemerintah menangani masalah penyakit kelamin secara serius, ditandai dengan Undang-undang pelacuran yang tujuan utamanya adalah untuk menekan penyebaran penyakit kelamin,” tutur Penulis Buku “Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942”, Gani A. Jaelani pada acara diskusi buku tersebut yang digelar Kamis (20/04) kemarin. Acara dilaksanakan di Ruang C lantai 4 Wing Barat, Rumah Sakit Pendidikan Unpad, Jln. Eijkman No. 38 Bandung.

Turut hadir menjadi pembahas pada acara tersebut Rachmatdinata, dr., SpKK (Departemen Kulit Kelamin Fakultas Kedokteran Unpad) dan Ari J. Adipurwawidjana (Departemen Susastra FIB Unpad). Acara yang digelar dalam rangka apresiasi dan peningkatan diskusi ilmiah multi- dan interdisiplin ini dimoderatori oleh Dr. Reiza Dienaputra (Departemen Sejarah Fakuktas Ilmu Budaya Unpad).

Dalam kesempatan tersebut, Gani menyebutkan bahwa angka penyebaran penyakit kelamin pada masa kolonial Belanda paling tinggi terjadi pada kaum militer dan para pekerja perkebunan. Hal ini menjadi perhatian khusus dari pemerintah karena kedua kelompok tersebut merupakan pondasi kekuasaan kolonial.  Kaum militer tentu berkaitan dengan penguasaan negara. Sementara dari sektor perkebunan, pada saat itu banyak dibuka perkebunan besar milik orang-orang Eropa, sehingga jika pekerja banyak yang sakit, tentu produksi akan menurun.

Gani yang juga mengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya FIB Unpad ini mengatakan bahwa dari sekian jumlah penyakit kelamin, sifilis merupakan “aktor” utamanya. Sifilis menjadi penyakit yang menakutkan karena pada saat itu belum ditemukan obatnya. Treatment yang dilakukan oleh para dokter saat itu tidak bersifat menyembuhkan.

Pada mulanya, pemerintah kolonial menganggap bahwa penyebaran penyakit kelamin ini berasal dari orang-orang pribumi. Namun pada perkembangannya, hal tersebut terbantahkan. Seorang dokter di Batavia, van der Burg mengatakan bahwa sifilis banyak menyebar pada masyarakat yang sudah diinfiltrasi oleh orang Eropa. Sifilis sedikit berkembang di daerah-daerah yang tidak banyak ditinggali oleh orang Eropa dan di tempat yang tidak banyak praktik perempuan gundik. Lebih jauh van der Burg mengatakan bahwa sifils merupakan kado pertama yang dibawa oleh peradaan Barat.

“Sehingga ada istilah civilisation sama dengan syphilisation. Peradaban sama dengan penyebaran sifilis,” tutur pria kelahiran Bandung 14 Juli 1983 ini.

Melalui buku ini, Gani menunjukkan bahwa wacana penyakit kelamin di negara kolonial merupakan hal yang cukup menarik, karena pembahasannya akan mencakup ranah politik, kedokteran, dan sosial. Gani sendiri dalam bukunya tidak melihat penyakit ini hanya sebatas persoalan kesehatan, tetapi lebih menggambarkan sejarah wacana penyakit kelamin, khususnya pada periode kolonial.

“Saya ingin melihat bagaimana pemerintah kolonial mengatur pelacuran. Banyak strategi mereka untuk menyelamatkan aspek ekonomi mereka,” tutur Gani. *

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh *

Share this: