Dekan Fakultas Hukum Unpad, Dr. Sigid Suseno (tengah), Budhiana Kartawijaya (kiri), dan Onno W. Purbo, saat menjadi narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan AJI dan Unpad di Executive Lounge Gedung Rektorat Unpad Bandung, Jumat (14/02). (Foto oleh: Erman)*

[Unpad.ac.id, 17/02/2014] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dipandang dapat menjadi bumerang bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Selain itu, ada kebingungan apakah praktik jurnalisme online yang belum diatur dalam UU Pers harus tunduk pada UU ITE?

Dekan Fakultas Hukum Unpad, Dr. Sigid Suseno (tengah), Budhiana Kartawijaya (kiri), dan Onno W. Purbo, saat menjadi narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan AJI dan Unpad di Executive Lounge Gedung Rektorat Unpad Bandung, Jumat (14/02). (Foto oleh: Erman)*
Dekan Fakultas Hukum Unpad, Dr. Sigid Suseno (tengah), Budhiana Kartawijaya (kiri), dan Onno W. Purbo, saat menjadi narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan AJI dan Unpad di Executive Lounge Gedung Rektorat Unpad Bandung, Jumat (14/02). (Foto oleh: Erman)*

Demikian dikatakan Heru Margianto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) saat memaparkan sikap AJI terhadap persoalan tata kelola internet di Indonesia yang disampaikan dalam diskusi publik bertema “Tata Kelola Infrastruktur Internet serta Kaidah Pertukaran Informasi Melalui Internet” yang diselenggarakan atas kerja sama Unpad, AJI Indonesia, dan AJI Bandung di Executive Lounge Gedung Rektorat Unpad Bandung, Jumat (14/02) lalu.

Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Dekan Fakultas Hukum Unpad, Dr. Sigid Suseno, SH., MHum., pakar teknologi informasi, Onno W. Purbo, praktisi media cetak dari Pikiran Rakyat, Budhiana Kartawijaya, dan praktisi media online dari merdeka.com, Sapto Anggoro.

“AJI Indonesia memandang, UU ITE tidak lagi memadai dijadikan sandaran bagi tata kelola internet yang adil dan demokratis untuk mengatur kebutuhan masyarakat sipil, industri, dan pemerintah. Dalam sejumlah kasus, UU itu malah jadi bumerang bagi kebebasan berpendapat di ruang publik,” ujar Heru Margianto.

Lebih lanjut Heru mengatakan, ada kekosongan hukum terkait praktik jurnalisme dalam media daring karena UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak mengatur hal tersebut. Satu-satunya aturan hukum soal internet yang dimiliki Indonesia adalah UU ITE.

“Bisa dipahami jika UU Pers tidak memuat hal tentang praktik jurnalistik di media daring karena saat itu belum ada. Lalu, aturan mana yang haris digunakan ketika media daring berhadapan dengan masalah hukum?” ujar Heru.

AJI, sebagaimana diungkapkan Heru, juga mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU ITE dan menggantikannya dengan UU Tata Kelola Internet karena dipandang tidak lagi memadai dijadikan sandaran bagi tata kelola internet yang adil dan demokratis. Selain itu, AJI juga mendorong dibentuknya sebuah komisi independen yang memiliki kewenangan dalam memutuskan sengketa di internet.

Menanggapi rekomendasi tersebut, Dr. Sigid Suseno mengatakan bahwa hukum tidaklah antiperubahan. Bila ada perkembangan di masyarakat, hukum akan mengadaptasi perkembangan tersebut. UU ITE, dalam pandangan Dr. Sigid Suseno memang memiliki beberapa catatan yang harus diperhatikan.

“Misalnya terkait masalah penghinaan dan pencemaran nama baik, pasal ini ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU ITE. Tapi ancaman hukumannya berbeda, lebih berat yang tercantum di UU ITE. Perlu juga dirumuskan nanti, masalah pidana harus masuk ke UU Tata Kelola Internet? Di Jerman dan Belanda, pidana termasuk cybercrime masuk di KUHP, tidak perlu UU tersendiri,” paparnya.

Sementara Onno W. Purbo menyarankan AJI untuk melakukan pencerdasan publik terkait UU Tata Kelola Internet yang direkomendasikan oleh AJI. Sosialisasikan gagasan-gagasan AJI agar masyarakat semakin memahami terhadap pentingnya perubahan UU ITE tadi. Jika itu terlaksana, maka dorongan perubahan itu akan semakin kuat.

“Kalau kita secara organisasi mencoba berhadapan dengan pembuat kebijakan, efeknya mungkin tidak akan terlalu kuat, atau malah tidak dianggap sama sekali. Tapi kalau dorongan perubahan itu datang dari massa, mungkin akan lebih diperhatikan. Jadi sekarang, bikin pintar dulu massanya,” ujar Onno. *

Laporan oleh: Erman *

Share this: