Masih Rendah, Kesadaran Masyarakat terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut

Suasana seminar ilmiah “Sociodental Integrated Approach for Oral Health Status Improvement”, Senin (26/05) di Aula Gedung B Lantai III Kampus FKG Unpad, Jalan Sekeloa Selatan No. 1 Bandung (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 26/05/2014] Sebagian besar masyarakat masih mengabaikan kondisi kesehatan gigi dan mulutnya. Padahal, akses seperti dokter, puskesmas, klinik kesehatan, hingga rumah sakit telah tersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat di sekitarnya.

Suasana seminar ilmiah “Sociodental Integrated Approach for Oral Health Status Improvement”, Senin (26/05) di Aula Gedung B Lantai III Kampus FKG Unpad, Jalan Sekeloa Selatan No. 1 Bandung (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Suasana seminar ilmiah “Sociodental Integrated Approach for Oral Health Status Improvement”, Senin (26/05) di Aula Gedung B Lantai III Kampus FKG Unpad, Jalan Sekeloa Selatan No. 1 Bandung (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Hal tersebut dikatakan oleh Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes., dosen Fakultas Kedokteran Gigi Unpad saat Seminar Ilmiah “Sociodental Integrated Approach for Oral Health Status Improvement”, Senin (26/05) di Aula Gedung B Lantai III Kampus FKG Unpad, Jalan Sekeloa Selatan No. 1 Bandung. Seminar ini menghadirkan 5 pembicara, yakni Tenny Setiani Dewi, drg. MS., Sp.PM, Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes,  Dr.phil.(des) Dian Ekawati, M.A., Zulia Hasratiningsih, drg., M.DSc., dan Dr. Atwar Bajari, M.Si.

Pada tahun 2013, Dr. Susi bersama tim dari 11 departemen di FKG Unpad telah melakukan penelitian terkait kondisi kesehatan gigi dan mulut masyarakat di sekitar Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) FKG Unpad.

“Hasilnya ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat sebatas memiliki keinginan untuk memeriksakan kesehatan giginya. Namun, yang betul-betul datang ternyata sangat rendah,” ujarnya.

Menggunakan pendekatan sociodental approach, sebuah pendekatan untuk melihat permasalahan kebutuhan perawatan kesehatan gigi tidak hanya dari aspek klinis, penelitian tersebut dilakukan kepada masyarakat usia dewasa di sekitar RSGM Unpad. Hasilnya ditemukan, 98,7% masyarakat membutuhkan perawatan gigi. Baru sebagian yang sudah sadar untuk melakukan perawatan dengan datang ke dokter gigi, puskesmas, atau RSGM.

Dr. Susi menuturkan, alasan masyarakat datang ke pelayanan kesehatan disebabkan oleh rasa sakit gigi. Sekitar, 66,2% persen diantaranya disebabkan oleh gigi yang berlubang. Namun, jumlah masyarakat yang datang baru sekiitar 35% saja, 65% masyarakat memilih untuk merawat dan mengobatinya sendiri.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Dr. Tenny Setiani Dewi, drg., M.S., SpPM, yang juga dosen di FKG Unpad. Dari hasil kuesioner terhadap 108 orang di sekitar RSGM Unpad, ditemukan bahwa angka prevalensi bebas karies gigi hanya 1,3% saja. Sisanya, 98,7% responden memiliki karies gigi.

“Begitu pula dengan kondisi gigi anak, 100% anak punya karies gigi, dan indeks PUFA-nya mencapai 58%. Itu pun kondisinya untreated,” papar Tenny.

Dengan demikian, pemerintah dan pihak terkait harus lebih aktif mengomunikasikan pentingnya melakukan perawatan kesehatan gigi kepada masyarakat. Saat ini, masih ada kesenjangan komunikasi antara petugas kesehatan dengan masyarakat.

Jika dilihat dari konteks sosial budaya, ada perbedaan persepsi antara masyarakat dengan petugas kesehatan terkait kesehatan gigi dan mulut. Menurut dosen Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya Unpad, Dr. Phil. (des) Dian Ekawati, M.A., persepsi “nyeri gigi” di mata masyarakat masih terbilang ringan dan belum perlu melakukan perawatan.

Padahal, dalam istilah medis, nyeri gigi sudah termasuk ke dalam masalah gigi yang harus diobati.

“Istilah yang muncul di masyarakat ‘kan kalau pipinya belum bengkak karena sakit gigi maka belum ke dokter gigi. ‘Sakit gigi’ dalam istilah mereka biasanya identik dengan apabila sudah mengganggu aktivitas sehari-hari,” ujar Dr. Dian yang melakukan penelitian mengenai konsep “bersih”, “kotor”, “sehat”, dan “sakit” dalam masyarakat Sunda.

Hal ini disebabkan struktur sosial budaya terkait kesehatan. Masyarakat cenderung aktif bertanya kepada tetua/sesepuh ketimbang ke dokter. Penyebab lainnya adalah terkait faktor sosial ekonomi, dan faktor psikologis dimana dalam benak masyarakat, dukun atau paraji lebih bernas ketimbang dokter ataupun bidan.

Kesenjangan inilah yang harus segera dientaskan. Dr. Atwar Bajari, M.Si., Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad mengatakan, media komunikasi menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Media elektronik seperti televisi dinilai lebih baik untuk mengomunikasikan pentingnya kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat.

“Hal lain yang bisa dilakukan adalah petugas kesehatan dapat masuk ke struktur tetua masyarakat, seperti sesepuh atau ulama. Sehingga, mereka inilah yang akan mendorong masyarakat untuk lebih sadar akan kesehatan giginya,” cetus Dr. Dian.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh*

Share this: