Langkanya Subsidi BBM Membuat Mayoritas Nelayan Belum Sejahtera

Narasumber dan moderator pada “Seminar Nasional Penelitian dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2014” di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad Kampus Jatinangor, Rabu (24/09). (Foto oleh: Tedi Yusup)

[Unpad.ac.id, 24/09/2014] Jumlah profesi nelayan di Indonesia mencapai 37 juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, nelayan menjadi salah satu tulang punggung negara dalam memperoleh devisa. Namun, 70% dari total nelayan di Indonesia hidup di bawah ambang kemiskinan.

Narasumber dan moderator pada “Seminar Nasional Penelitian dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2014” di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad Kampus Jatinangor, Rabu (24/09). (Foto oleh: Tedi Yusup)
Narasumber dan moderator pada “Seminar Nasional Penelitian dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2014” di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad Kampus Jatinangor, Rabu (24/09). *

“Kebanyakan nelayan hidup dari hutang ke hutang,” demikian dikatakan Wakil Ketua Komite Tetap Penangkapan Hasil Laut Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Siwaryudi Heru dalam “Seminar Nasional Penelitian dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2014” di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad Kampus Jatinangor, Rabu (24/09).

Seminar ini menghadirkan 3 pembicara utama, Siwaryudi Heru, Dr. Ir. Iskandar, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan (FPIK) Unpad, dan Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.,, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

Kelangkaan subsidi BBM menjadi salah satu pengaruh belum sejahteranya nasib nelayan. Siswaryudi mengulas, sekitar 70% nelayan tidak pernah membeli BBM jenis solar sesuai dengan harga eceran yang ditetapkan Pemerintah. Dalam hal ini, Pemerintah belum membangun jaringan distribusi BBM secara terorganisir sehingga acapkali nelayan membeli solar dengan harga yang lebih mahal.

“Kebutuhan solar bagi nelayan jika dihitung mencapai 5.887.080 kiloliter. Tapi dari Pertamina hanya mendistribusi 1,7 hingga 2,1 juta kiloliter saja,” paparnya.

Kondisi ini menyebabkan nelayan menggantungkan hidupnya dari pinjaman tengkulak atau rentenir. Adanya bank rakyat pun tidak berpengaruh banyak pada kesejahteraan nelayan. Belum lagi harga jual ikan tangkapan yang sangat rendah di tangan para tengkulak.

Siswaryudi melalui Kadin pun terus berupaya meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Ada tiga usulan yang ditawarkan Kadin kepada Pemerintah, yaitu mengatur distribusi BBM secara tepat dan ketat, membentuk bulog perikanan, serta meningkatkan infrastruktur nelayan, seperti: membangun desa nelayan.

“Dengan bulog nelayan, harga ikan akan menjadi stabil dan tentunya dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Adapun desa nelayan, selain meningkatkan kesejahteraan, juga dapat berpotensi menjadi desa wisata,” jelas Siswaryudi.

Sementara di sisi kebijakan, menilai, manajemen perikanan di Indonesia terkesan seperti fashion yang mengikuti mode. “Kebijakan ini hanya akan melahirkan dampak backfire. Kalau kita tidak membedahnya dengan baik, tidak akan menyelesaikan masalah,” tegasnya.

Dalam seminar itu juga, Dr. Iskandar memberikan presentasi tentang Peran Perguruan Tinggi dalam menyiapkan lulusan. Seminar nasional ini digelar atas kerja sama FPIK Unpad dengan Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dan Indonesian Marine and Fisheries Socio-Economics Research Network (IMFISERN). Ketua pelaksana kegiatan, Dr. Tukul Rameyo Adi menjelaskan, seminar ini merupakan wahan penting dalam mendeseminasikan penelitian sosial ekonomi untuk kebutuhan perikanan dan kelautan.

Selain presentasi pembicara utama, seminar ini juga diisi dengan presentasi pemakalah. Ada 112 pemakalah yang akan mempresentasikan makalahnya di Bale Rucita dan Bale Rancage Gedung Rektorat Unpad Jatinangor.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh

Share this: