Prof. Mikihiro Moriyama, “Ada Arus Balik yang Mengokohkan Bahasa Lokal di Era Globalisasi”

Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, Guru Besar Department of Asian Studies Nanzan University, Jepang (Foto oleh: Dadan T.)*

[Unpad.ac.id, 7/03/2016] Eksistensi Bahasa Sunda yang sampai saat ini masih melengkapi khazanah perbendaharaan bahasa lokal di Indonesia tidak lepas dari perjuangan para generasi pendahulu. Sejarah mencatat, sejak abad 19 sudah muncul upaya untuk membangunkan kembali Bahasa Sunda menjadi sejajar dengan Bahasa Melayu dan Bahasa Jawa.

Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, Guru Besar Department of Asian Studies Nanzan University, Jepang (Foto oleh: Dadan T.)*
Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, Guru Besar Department of Asian Studies Nanzan University, Jepang (Foto oleh: Dadan T.)*

“Bagi masyarakat Sunda, bahasa itu adalah kunci identitas,” ujar Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, Guru Besar Department of Asian Studies Nanzan University, Jepang, saat memberikan kuliah umum Kebudayaan Sunda di Aula Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Senin (7/03).

Menurut Prof. Mikihiro, masyarakat Sunda menganggap penting eksistensi kebahasaannya jika dibandingkan dengan suku bangsa lain di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana para intelektual Sunda pasca abad ke-19 mulai menerapkan Bahasa Sunda di antara Bahasa Melayu dan Jawa.

Mengutip pendapat Raden Haji Moehamad Moesa, Sastrawan Sunda pada abad ke-19, sebelum abad 19 Bahasa Sunda tidak begitu dikenal di kalangan Eropa, serta tergusur eksistensinya oleh kebudayaan Jawa. Hal ini menyebabkan ada upaya untuk meningkatkan kembali eksistensi Bahasa Sunda oleh para sastrawan dan kaum intelektual.

Upaya ini kemudian selaras dengan kebijakan politik Belanda saat itu yang tidak mengabaikan ragam bahasa lokal di Hindia Belanda, meskipun saat itu Bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi terutama di lingkungan pendidikan. Prof. Mikihiro berpendapat, Belanda menganggap bahasa kaum pribumi kala itu memiliki nilai budaya yang kuat.

“Mereka (Belanda) sudah berpikir, tanpa bahasa, suatu bangsa tidak akan ada. Itu pemikiran yang sangat romantis,” ujar peneliti asal Jepang yang fasih berbahasa Indonesia dan Sunda tersebut.

Sejak abad 19, buku pelajaran berbahasa Sunda kemudian diterbitkan berkat upaya Moesa dengan K.F. Holle, pengusaha perkebunan asal Belanda. Sejak saat itu, ragam buku berbahasa Sunda, baik buku pelajaran maupun sastra, sudah banyak diterbitkan.

Meski pasca kemerdekaan Indonesia hingga periode Presiden Soeharto eksistensi buku berbahasa lokal mengalami masa sulit, hal itu tidak berdampak pada buku berbahasa Sunda. Prof. Mikihiro berpendapat, tatar Sunda seolah tidak putus asa untuk terus membuat buku berbahasa Sunda hingga saat ini.

“Sampai sekarang masih banyak buku berbahasa Sunda yang diterbitkan, saya kira bahasa lokal lain di Indonesia tidak sekaya ini, yang mampu melahirkan buku berbahasa daerah sejak zaman Belanda hingga saat ini,” papar guru besar yang pernah mendalami kebudayaan Sunda di Unpad pada tahun 1982 – 1984 tersebut.

Memasuki era globalisasi, lanjut Prof. Mikihiro, ada ketakutan bahwa globalisasi akan menghapus ragam bahasa lokal. Kenyataannya, ada arus balik muncul untuk mengokohkan bahasa lokal. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai situs di internet yang menggunakan beragam bahasa, termasuk Bahasa Sunda, pada abad ke-21.

Ia juga mengapresiasi kebijakan Pemprov Jabar untuk mengeksiskan kembali Bahasa Sunda dalam lingkup pemerintahan. Ia berharap hal ini juga dapat diterapkan pada kebijakan penerapan muatan lokal Bahasa Sunda di sekolah.

“Penerapan muatan lokal Bahasa Sunda harus memiliki kebijakan yang mandiri, dan harus direncanakan dalam jangka panjang juga,” ujarnya.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh            

Share this: