Pandemi Covid-19 Belum Juga Usai, Stres Harus Tetap Dicegah

Sad businessman sitting head in hands on the bed in the dark bedroom with low light environment

Laporan oleh Arif Maulana

stres
ilustrasi stres. (Foto: Dadan Triawan)*

[unpad.ac.id, 19/6/2020] Gangguan mental merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19. Rasa cemas, stres, hingga depresi rentan dialami oleh masyarakat yang terdampak pandemi. Perlu dukungan dan upaya bersama dalam menangani permasalahan kesehatan mental ini.

Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Dr. Adiatma Y. Siregar, pembatasan fisik dan sosial merupakan salah satu pemutus rantai pandemi Covid-19. Namun, kebijakan ini menuai dampak sosial terkait gangguan mental, kerentanan nutrisi, finansial, kesehatan fisik, hingga gangguan psikososial lainnya.

(baca juga: Peneliti Hipnosis Unpad Kembangkan Media Audio Visual untuk Kurangi Stres Akibat Coronavirus)

Bersama peneliti lintas keilmuan di lingkungan Unpad, Dr. Adiatma melakukan pemetaan mengenai gejala depresi yang dialami sejumlah kelompok masyarakat, antara lain: mahasiswa, wartawan, tenaga medis, serta dosen, dan tenaga kependidikan Unpad. Hasil pemetaan ini kemudian diolah untuk dihitung biaya ekonomi dari penanganan depresinya.

Lewat acara Webinar Covid-19 Series Fakultas Kedokteran Unpad, Kamis (18/6), Dr. Adiatma menyebut, biaya (cost) depresi dari setiap kelompok responden yang diteliti cukup besar. Dari responden mahasiswa misalnya, sebanyak 47% memiliki gejala depresi. Berdasarkan literatur, dari angka persentase tersebut, kemungkinan untuk terjadi depresi adalah sekitar 49%.

(baca juga: Stres Hadapi Coronavirus Picu Turunnya Imunitas Tubuh)

“Dari penghitungan sampel yang kita punya, kemungkinan hampir Rp 3 Miliar untuk merawat kasus depresi,” kata Dr. Adiatma.

Sementara kelompok wartawan memiliki persentase 45% punya gejala depresi, sedangkan tenaga medis memiliki persentase sekitar 28%. Sementara dosen/tenaga pendidik berisiko lebih banyak terkena depresi dibandingkan tenaga kependidikan.

Risiko biaya perawatan depresi harus dicegah. Respons segera dan terencana harus dilakukan. Dalam hal ini, upaya respons tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah. Seluruh unsur harus mendukung penuh penanganan depresi ini. Pemerintah, masyarakat, hingga keluarga harus mendukung upaya pencegahan gangguan mental selama pandemi Covid-19. Layanan konseling kesehatan jiwa harus secara aktif tersedia.

“Dukungan ini harus penuh dilakukan kalaupun memang PSBB akan dilonggarkan, itu harus tetap terjaga,” ujarnya.

Bekerja dari Rumah

Bagi para pekerja, instansi perkantoran perlu memperhatikan aturan pelaksanaan sistem kerja dari rumah/work from home (WFH). Menurut Dr. Adiatma, sistem kerja dari rumah juga ternyata memiliki risiko melahirkan gejala depresi. Pembatasan jam kerja harus tetap dilakukan.

Work from Home itu hanya memindahkan tempat kerja saja. Artinya, jam kerja berlaku, weekend juga berlaku. Bukan berarti aturan itu bubar semuanya,” tegasnya.

(baca juga: Kelola Cemas Menjadi Berkah)

Dosen Fakultas Psikologi Unpad Dr. Fredrick Dermawan Purba menjelaskan, dari hasil penelitian yang dilakukan dua dosen Fapsi Unpad, Azhar El Hami, M.Psi., dan Rezki Ashriyana Sulistiobudi, M.Psi., ada sejumlah kendala yang terjadi saat menjalani kerja dari rumah.

Kendala yang terjadi adalah komunikasi yang cukup sulit, belum meratanya penguasaan teknologi yang cukup akrab saat menjalani kerja dari rumah, hingga manajemen waktu yang belum baik. Namun, ada sisi positif dari bekerja dari rumah. Dukungan keluarga dan cara bekerja yang cenderung santai menjadi jawaban yang paling banyak dilontarkan oleh responden.

Dr. Fredrick juga memaparkan hasil penelitiannya terkait gambaran kesehatan mental dari para ibu selama pandemi Covid-19. Bersama sejumlah dosen lain di Fapsi Unpad, temuannya cukup menarik untuk diungkapkan.

Dari 1.534 responden yang mengikuti penelitian ini, diperoleh hasil bahwa stres merupakan kondisi emosi negatif yang paling banyak dialami oleh responden ibu selama pandemi. Perilaku yang dikelompokkan ke dalam stres tersebut di antaranya kurang sabar, mudah tersinggung, dan sulit untuk rileks.

Apalagi, ibu merupakan sosok sentral selama penerapan kerja dari rumah maupun sekolah dari rumah. Menurut Dr. Fredrick, ibu kerap menjadi sosok dominan bagi anak maupun pasangannya untuk . Hal ini menjadi lebih berat manakala ibu juga masih harus bekerja dari rumah di samping melakukan aktivitas rumah tangga.

Ada beragam cara yang dilakukan responden untuk mengatasi stres. Menerima kondisi (acceptance), mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang disukai (self distraction), membingkai kembali kenyaatan ke arah positif (positive-reframing), hingga mendekat kepada Tuhan adalah 4 cara yang kerap dilakukan oleh para responden.

Manajemen Stres

Dr. Fredrick menjelaskan, ada sejumlah rekomendasi yang perlu diperhatikan oleh para “pejuang” WFH. Ia menyingkat rekomendasi ini dengan sebutan “UNPAD”. Rekomendasi tersebut antara lain, upaya jaga kesehatan diri (U), niat baik-cara baik (N), pikir yang positif dan tetap kritis (P), atur kerja, taklupa jeda (A), dan dukung sesama tetap bahagia (D).

Sementara Dosen Departemen Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unpad Dr. Shelly Iskandar, dr., Sp.Akp., Sp.KJ., M.Si., stres akan memicu perubahan metabolisme pada tubuh. Ada gejala yang bisa ditimbulkan akibat stres, yaitu mengeluarkan keringat berlebih, jantung berdebar, hingga nyeri pada lambung.

(baca juga: Stres Perlu Dikelola dengan Baik)

Pskiater ini menjelaskan, ada sejumlah aktivitas yang bisa dilakukan untuk menurunkan stres. Olahraga aerobik tidak hanya berperan untuk kebugaran tubuh, tetapi juga mampu meningkatkan kesehatan mental.

Selain itu, pemenuhan nutrisi dari makanan diperlukan untuk meningkatkan kinerja otak. Ia menyebut, makanan yang menimbulkan inflamasi akan menyebabkan inflamasi memiliki risiko lebih tinggi terjadi gangguan psikiatrik.

Jika tubuh mengeluarkan sinyal stres, seperti jantung berdebar, napas cepat, hingga rasa cemas, sebaiknya hentikan sejenak aktivitas dan kembalikan keseimbangan tubuh. “Lakukan relaksasi, ambil napas yang dalam, dan lemaskan otot,” jelasnya.

Ia pun mendorong seseorang untuk memiliki harapan dan tujuan hidup yang jelas di tengah pandemi Covid-19. Seseorang yang memiliki harapan dan tujuan hidup yang jelas cenderung lebih rendah angka kecemasan dan depresinya.

Webinar ini juga menghadirkan pembicara lainnya, yaitu Dosen program studi Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad Dr. Budi Muhammad Taftazani.*

Share this: