Kreatif Mengolah Kuliner, Warisan Berharga Leluhur Nusantara

kuliner nusantara
[Foto ilustrasi] Tahu Sumedang, kuliner khas dari Sumedang, Jawa Barat. (Foto: Dadan Triawan)*

Laporan oleh Arif Maulana

kuliner
[Foto ilustrasi] Tahu Sumedang, kuliner khas dari Sumedang, Jawa Barat. (Foto: Dadan Triawan)*

[unpad.ac.id, 28/9/2020] Indonesia dikenal sebagai surga bagi para pencinta kuliner karena memiliki keanekaragaman sajian makanan dan kudapan khas. Keanekaragaman kuliner ini tentunya tidak lepas dari kreativitas nenek moyang Indonesia.

Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, M.A., mengatakan, leluhur bangsa Indonesia sudah kreatif dalam mengolah kuliner. Para leluhur terbiasa memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar untuk diolah menjadi makanan.

Kreativitas ini berkembang menjadi seni boga yang menjadi ciri khas Indonesia. “Ini menarik, jika di Barat punya culinary, kita sebenarnya sudah punya seni boga sejak lama,” kata Fadly.

(baca juga: Melacak Jejak Lalapan Sunda Hingga Abad 10 Masehi)

Akademisi yang menggeluti sejarah kuliner Indonesia ini menuturkan, tidak hanya memanfaatkan bahan pangan yang ada, nenek moyang juga biasa mengolah bahan-bahan pangan yang dianggap terbuang atau tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat kolonial.

Sebagai contoh nenek moyang mengolah jeroan hewan untuk dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari. Dalam sejarahnya, jeroan dianggap sebagai makanan buangan oleh masyarakat Eropa.

Setiap pasar di era kolonial rutin dilakukan inspeksi oleh pemerintah Hindia Belanda. Inspeksi dilakukan untuk memastikan bahwa bahan pangan yang dijual adalah bahan yang “layak dikonsumsi” orang Eropa.

Di satu sisi, kata Fadly, masyarakat pribumi tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging, sehingga akhirnya memanfaatkan jeroan daging sampai ekor hewan untuk dijadikan makanan.

Bukan hanya jeroan, masyarakat pribumi juga gemar menyantap olahan fermentasi kedelai, atau yang akrab dikenal sebagai tempe. Dulu, tempe dianggap sebagai makanan kelas proletar yang tidak dikonsumsi oleh kaum kolonial.

(baca juga: Lestarikan Tradisi Masyarakat, FIB Unpad Selenggarakan “Gelar Budaya Pangan”)

“Tetapi ketika sudah diteliti pada 1930an oleh para ahli gizi, ternyata tempe bisa untuk substitusi daging. Akhirnya tempe pun naik daun,” kata Fadly.

Selain makanan, masyarakat juga kreatif dalam menciptakan kudapan ringan. Ada beragam alasan mengapa leluhur Indonesia banyak menciptakan kreasi kudapan ringan. Fadly menyebut salah satu alasannya adalah faktor kesenangan.

Ya, sejatinya leluhur Nusantara juga sama dengan masyarakat Indonesia saat ini. Menyukai kuliner sebagai suatu kesenangan.

“Contohnya, ada banyak narasi yang berkaitan kenapa kue cucur dan dodol diolah dan dikonsumsi karena memang ada unsur kesenangan,” jelasnya.

(baca juga: Haleuang Kuliner Sunda Sukses Angkat Kuliner Sunda Melalui Lagu)

Alasan lain adalah sebagai perbekalan. Kudapan ringan sangat praktis dibawa saat bepergian dan cukup efektif untuk mengganjal perut yang lapar.

Terakhir, lanjut Fadly, kudapan kemudian digunakan untuk acara seremonial dan selamatan atas hasil bumi yang didapat. Wujud syukur atas hasil bumi tersebut salah satunya adalah dengan mengolahnya menjadi makanan.

Kreativitas Berbalut Kejenakaan

Tidak hanya dalam pengolahan, kreativitas juga lahir saat pemberian nama suatu kudapan. Salah satunya adalah apa yang sudah dilakukan masyarakat Sunda.

(baca juga: Lagu Merupakan Sarana Efektif Ajarkan Bahasa Sunda pada Generasi Muda)

Bila ditelusuri, banyak nama-nama kudapan yang merupakan akronim, seperti “cireng” yang berarti “aci digoreng”, “cilok” yang berarti “aci dicolok (ditusuk)”, “comro” atau “oncom di jero (dalam)”, hingga “misro” atau “amis (manis) di jero (dalam)”.

Fadly menjelaskan, munculnya kudapan tersebut berasal dari masa peralihan abad 19 hingga 20. Sebagian besar kudapan tersebut berasal dari bahan baku yang sama, yaitu aci atau dalam bahasa Indonesia disebut tepung tapioka.

Ini disebabkan, Jawa Barat pada masa kolonial merupakan kawasan produsen tepung tapioka terbesar di Indonesia.  Hal ini pula yang menjadikan banyak jajanan di lingkungan masyarakat Jawa Barat menggunakan bahan baku dari tepung tapioka.

“Ini salah satu bentuk kelucuan dan kreativitas orang Sunda yang punya sifat jenaka dan komunikatif,” tutur Fadly.*

 

 

 

Share this: