Kebijakan “Hard Selling” Pariwisata Selama Pandemi Dinilai Tidak Tepat

pariwisata
[Foto ilustrasi]. Wisatawan mencoba aktivitas body rafting di obyek wisata Citumang, Kabupaten Pangandaran, 9 September 2015. (Foto: Dadan Triawan)*

Rilis

pariwisata
[Foto ilustrasi]. Wisatawan mencoba aktivitas body rafting di obyek wisata Citumang, Kabupaten Pangandaran, 9 September 2015. (Foto: Dadan Triawan)*

[unpad.ac.id, 5/10/2020] Pemerintah saat ini gencar mendorong sektor pariwisata Indonesia kembali menggeliat di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya adalah menggelontorkan daya milyaran rupiah bagi para pemengaruh (influencer) untuk ikut mempromosikan beragam lokasi wisata.

Ini dilakukan mengingat pariwisata merupakan salah satu sektor yang menyumbang devisa negara terbesar di Indonesia

Upaya pemerintah yang melakukan promosi wisata secara gencar (hard selling) di tengah situasi pandemi yang belum usai mengundang reaksi dari berbagai pihak. Hal tersebut diungkap oleh Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran S. Kunto Adi Wibowo, PhD.

[irp]

Peneliti komunikasi dan media ini memaparkan, berdasarkan analisis mahadata (big data) di media sosial, marak terjadi percakapan warganet terkait langkah pemerintah untuk menangani sektor di tengah pandemi, baik positif maupun negatif.

“Sejak Agustus hingga September ada banyak percakapan negatif di media sosial di mana masyarakat bingung, hal apa yang sebenarnya harus dilakukan. Apakah pergi travelling atau tetap diam di rumah,” ungkap Kunto saat menjadi pembicara pada seminar internasional “The 2nd Padjadjaran Communication Conference Series: The Role of Communication Science in Enhancing Collaborative Action” yang digelar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad secara daring, Kamis (1/10) dikutip dari Ayobandung.

[irp]

Maraknya diskusi ini terungkap menyusul pemberitaan yang menyatakan adanya lonjakan kasus positif Covid-19 di Bali pada September lalu. Ini akibat pembukaan kembali Bali sebagai destinasi wisata domestik oleh pemerintah setempat.

Sontak, kebijakan promosi pariwisata dengan memanfaatkan pemengaruh akhirnya menuai sentimen negatif di media sosial. Kunto menilai, program promosi wisata oleh pemengaruh untuk mengajak masyarakat berwisata di tengah pandemi merupakan kebijakan yang tidak tepat.

S. Kunto Adi Wibowo, PhD. (Foto: Tedi Yusup)*

Ia juga meneliti adanya kecenderungan peningkatan jumlah siaran pers yang diterbitkan Kementerian Pariwisata RI untuk media massa dan masyarakat.

Jumlah siaran pers yang meningkat secara eksponensial dari Februari ke Maret dan Maret ke April tersebut menunjukan adanya urgensi pemerintah untuk melakukan komunikasi publik terkait situasi terkini sektor pariwisata.

Sayangnya, komunikasi yang dilakukan dinilai belum mampu membawa titik terang bagi masyarakat sesuai harapan yang diinginkan. Kunto mengungkapkan, hal ini terjadi karena pemerintah saat itu tidak dapat memprediksi kemunculan pandemi sebagai suatu krisis yang harus dihadapi.

[irp]

“Kita tidak siap untuk krisis. Hal yang sudah kita persiapkan adalah bencana-bencana alam seperti gempa atau tsunami. Tapi tidak dengan pandemi, sehingga ujung-ujungnya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan bisnis seperti biasa, mempertahankan ekonomi dengan promosi (hard selling),” ungkapnya.

Lebih lanjut Kunto menjelaskan, upaya terbaik yang dapat dilakukan pemerintah terkait komunikasi publik di sektor pariwisata selama pandemi adalah dengan menyentuh aspek kemanusiaan.

Pemerintah menurutnya dapat membeberkan cerita para pelaku usaha pariwisata yang berusaha bertahan di tengah pandemi.

“Kita harus dapat membuat orang sadar bahwa kita memiliki resilience, memiliki kemampuan untuk bertahan. Hal yang paling penting adalah terus menginformasikan langkah konkret yang harus dilakukan di tengah pandemi, dan secara kontinu menyatakan bahwa kita berada dalam situasi ini bersama-sama,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga mendorong pentingnya komunikasi publik yang mengarah pada aksi (Call to Action) terkait hal yang harus dilakukan di bidang pariwisata selama pandemi. Misalnya, dengan aktif mengkampanyekan penggunaan masker, physical distancing dan protokol kesehatan lainnya.

Seminar internasional ini menghadirkan tiga pembicara lainnya, yaitu Prof. Dr. L. Jan Slikkerveer (Leiden University), Prof. Dr. Franck Lavigne (Universite Paris 1 Pantheon Sorbonnne), dan Prof. Deddy Mulyana, PhD (Guru Besar Fikom Unpad).(arm)*

Share this: