Rilis: Salsabiila Tiara Aulia

[unpad.ac.id, 27/11/2020] Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran bersama sejumlah BEM FH di 12 perguruan tinggi di Indonesia melahirkan pernyataan sikap terkait penegakan HAM di Indonesia.
Sikap tersebut lahir berdasarkan sidang pleno yang digelar pada Konferensi Mahasiswa Hukum Nasional (KMHN) 2020 bertema “Aktualisasi HAM dari Masa ke Masa” yang digelar secara virtual 13 – 15 November lalu.
Dalam rilis yang diterima Kantor Komunikasi Publik Unpad dijelaskan, BEM FH berharap pernyataan sikap pada KMHN 2020 akan menjadi rekomendasi yang diterima para pemangku kebijakan, sehingga dapat membantu mengoptimalkan aktualisasi HAM dari masa ke masa.
[irp]
Sebanyak 12 poin pernyataan dikemukaan dan telah ditandatangani oleh seluruh perwakilan BEM tiap universitas. Delegasi universitas yang hadir antara lain Unpad, Universitas Trisakti, Universitas Pekalongan, Universitas Sriwijaya, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Islam Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Semarang, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Muhammadiyah Metro.
Adapun 12 pernyataan sikap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meratifikasi Statuta Roma dan International Criminal Court (ICC) dalam memperkuat hukum Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum internasional;
2. Merevisi Pasal 21 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memperkuat kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan memberikan kewenangan penyidikan;
3. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merumuskan, menetapkan, mengesahkan, dan memberlakukan konsep Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai tata alternatif untuk penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu berbasis inisiatif lokal;
4. Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) berat dilarang menduduki jabatan pemerintahan;
5. Tidak mencabut status kewarganegaraan Warga Negara Indonesia (WNI) Eks militan ISIS;
6. Warga Negara Indonesia (WNI) berhak untuk pulang ke Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk berperan aktif dalam memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) Eks militan ISIS ke Indonesia;
7. Mekanisme deradikalisasi bagi Warga Negara Indonesia (WNI) Eks militan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) yang dipulangkan dapat mencakup upaya profiling, pelibatan stakeholder secara aktif, penanganan case by case apabila diperlukan pemisahan anak-anak dan orang dewasa, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan restoratif;
8. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk membahas kembali Rancangan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dengan mempertimbangkan masukan-masukan bersama dengan akademisi, pemangku kebijakan, serta pihak terkait dalam waktu dekat;
9. Mengutamakan sanksi administrasi dan mekanisme ganti rugi di dalam penyelesaian sengketa pelanggaran perlindungan data pribadi yang akan ditindaklanjuti dengan sanksi pidana sebagai ultimum remedium yang berorientasi pada perlindungan dan pemulihan korban jika mekanisme awal tidak berhasil. Selain itu, mengatur pula mengenai tindak lanjut terhadap pelanggaran data pribadi yang dilakukan oleh pemerintah;
10. Dihadirkannya sanksi berjenjang dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP), yang menekankan tanggung jawab kepada pemegang data sesuai dengan kemampuan dan skala pemegang data masing-masing seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) maupun korporasi;
11. Memperluas kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang berwenang untuk, namun tidak terbatas pada, mengawasi penyelenggaraan perlindungan data pribadi oleh pemerintah, menerima pengaduan kasus pelanggaraan data pribadi, menangani kasus pelanggaran data pribadi serta memberikan sosialisasi terkait isu perlindungan data pribadi dan mengubah pertanggungjawaban menjadi langsung kepada publik dalam penyelenggaraan perlindungan data pribadi;
12. Memperjelas frasa-frasa terkait pengecualian kewenangan pemerintah dalam RUU PDP.
Dua belas sikap tersebut lahir dari hasil pembahasan yang dilakukan di hari pertama konferensi. Pada awal konferensi, peserta disambut dengan pemaparan melalui seminar daring. Setelah itu, peserta dibagi menjadi tiga komisi. Ketiga komisi tersebut akan membahas tiga subtema yang berbeda yang mencirikan pelanggaran HAM dalam lingkup waktu masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Komisi 1 membahas mengenai aktualisasi HAM di masa lalu, khususnya terkait pelanggaran HAM pada masa Orde Baru. Pada pembahasan ini, hukum dinilai belum optimal untuk menangani berbagai kasus hilangnya para pembela HAM di orde tersebut.
Sementara komisi 2 membahas mengenai hak kewarganegaraan bagi WNI eks-ISIS. Diskursus mengemuka terkait pemulangan WNI eks-ISIS yang dikhawatirkan akan menyebarkan radikalisme.
Namun, di sisi lain, pemerintah tidak bisa begitu saja dilakukan pencabutan status kewarganegaraan bagi mereka. Ini disebabkan dalam Pasal 28 D ayat 4 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya.
Seanjutnya, komisi 3 membahas terkait perlindungan hak atas privasi beserta data pribadi. Hal ini sangat terasa begitu dibutuhkan, semenjak marak terjadi kasus pencurian atas data pribadi serta penyelewengan atas hak privasi masyarakat.(art)*