Penelitian Dampak Sampah Plastik di Laut Perlu Ditingkatkan

Kawasan Pantai Timur Pangandaran, Jawa Barat. (Foto: Tedi Yusup)*

Rilis

Artikel ini sebelumnya sudah dipublikasikan di https://theconversation.com/indonesia-perlu-lebih-banyak-penelitian-dampak-sampah-plastik-di-laut-125432. Artikel dicuplik dan dilakukan editing berdasarkan persetujuan Noir Primadona Purba.

Kawasan Pantai Timur Pangandaran, Jawa Barat. (Foto: Tedi Yusup)*

[unpad.ac.id, 9/11/2020] Sebagai negara maritim, perairan Indonesia menjadi surga bagi keanekaragaman hayati. Jargon ini sudah digaungkan sejak dulu. Namun, nyatanya perairan Indonesia kini mulai menjadi tempat sampah.

Riset yang dilakukan Jenna Jambeck dari Universitas Georgia menunjukkan, Indonesia menjadi negara terbesar kedua dalam kasus pencemaran laut dengan plastik. Ini merupakan masalah krusial. Sayangnya, tidak banyak yang tahu bagaimana sampah plastik berdampak pada biota laut di perairan Indonesia.

“Penelitian tentang dampak sampah laut bagi ekosistem di perairan Indonesia sangat penting sebagai bahan untuk membuat kebijakan dan aturan perusahaan, stakeholder, dan pemerintah akan urgensi untuk membebaskan laut dari sampah plastik dan turunannya,” ujar Dosen Departemen Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Noir Primadona Purba, M.Si.

Dikutip dari Theconversation, Noir yang menjadi salah satu peneliti di Marine Research Laboratory (MEAL) Unpad berkolaborasi dengan Kementerian KKP, Universitas Maritim Raja Ali Haji, dan Mantawatch International melakukan tinjauan sistematis terkait penelitian tentang limbah plastik di laut.

Riset yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Marine Pollution Journal ini menemukan, tidak banyak penelitian terkait dengan isu sampah plastik laut, terutama untuk Indonesia bagian timur.

[irp]

Saat ini, masih banyak perusahaan di Indonesia yang menjual produk kebutuhan sehari-hari, seperti sampo, sabun, hingga makanan dalam kemasan plastik. Di sisi lain, pemerintah juga belum dapat sepenuhnya mengelola limbah secara efektif di darat dan memastikan tidak dibuang ke laut.

Selain itu, kebanyakan orang tidak menyadari risiko kesehatan bagi manusia akibat pembuangan sampah plastik ke laut. Sampah plastik yang dibuat ke laut nyatanya bisa “kembali” ke darat dan hadir menjadi santapan manusia.

Ini bisa terjadi apabila makanan laut yang dimakan manusia terkontaminasi oleh serpihan sampah plastik yang ada di lautan. Ini tentu saja sangat berbahaya.

Berbagai penelitian di dunia sudah menunjukkan bahwa konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi plastik menimbulkan potensi risiko kesehatan.

Noir menjelaskan, sebagian besar hewan di laut sebenarnya buta warna dan tidak dapat membedakan antara sampah dan makanan. “Mereka lebih menggunakan sensor perasaan dibandingkan sensor visual seperti manusia,” kata Noir.

Status Penelitian Kelautan Indonesia

Dalam tinjauan sistematis tersebut, Noir dan tim memetakan penelitian yang sudah dilakukan terkait sampah plastik di laut, terutama di Indonesia. Ia menemukan, terjadi peningkatan signifikan mengenai penelitian tersebut selama 40 tahun terakhir.

Awalnya, penelitian tentang limbah plastik di laut terdapat pada tahun 1950 hingga tahun 1978 dengan jumlah yang sedikit. Namun, pada tahun 2018, terdapat sekitar 579 penelitian yang dipublikasikan.

[irp]

Noir menjelaskan, peningkatan ini terjadi setelah Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Brazil pada tahun 2012. Konferensi ini menyimpulkan bahwa limbah plastik di laut adalah masalah utama dalam kesehatan laut.

Ia juga menganalisis publikasi berdasarkan negara. Hasilnya, Tiongkok yang merupakan negara produsen sampah plastik terbesar di dunia, justru menjadi penyumbang penelitian secara signifikan ketimbang negara produsen sampah plastik besar lainnya, termasuk Indonesia.

Bagaimana Indonesia? Noir menemukan bahwa tidak lebih dari 50 artikel tentang sampah laut, khususnya plastik di laut, yang telah terbit di Indonesia sejak 1986.

“Ditambah lagi, penelitian dengan topik limbah laut sangat spesifik. Contohnya, penelitian yang kami temukan hanya mempelajari reaksi kimia dari sampah plastik di laut, dampak terhadap ekosistem, distribusi, hingga pembersihan pantai. Penelitian ini masih belum memadai untuk digunakan sebagai dasar kebijakan pemerintah,” papar Noir.

Intensif di Indonesia Bagian Timur

Penelitian tentang sampah plastik laut di Indonesia selama ini hanya fokus kepada Indonesia bagian barat, terutama terkonsentrasi pada pulau-pulau padat penduduk di Jawa dan Bali.

Sekitar 80% dari penelitian dilakukan di daerah pesisir pantai dan ekosistem laut, sementara 20% lainnya meneliti kolom air. Sebagian besar dari penelitian ini berfokus pada ilmu lingkungan dan manajemen sumber daya alam.

Hanya sedikit penelitian yang fokus pada kesehatan, sosio-ekonomi, teknik, atau kebijakan. Sangat sulit untuk menemukan penelitian yang mempelajari dampak sampah plastik pada manusia.

Sementara, sangat sedikit penelitian yang dilakukan di wilayah Indonesia bagian timur.

“Untuk penelitian di Indonesia bagian timur, kami hanya menemukan lima penelitian yang berfokus pada kondisi limbah laut, dan dua diantaranya telah terbit sekitar 20 tahun yang lalu,” kata Noir.

[irp]

Lebih lanjut, belum ada publikasi yang secara komprehensif membahas akumulasi mikroplastik dalam organisme laut. Untuk melakukan penelitian semacam ini, dibutuhkan laboratorium khusus untuk mempelajari sampah laut, terutama untuk yang berukuran nano.

Noir menuturkan, penelitian terkait sampah laut masih merupakan bidang yang berkembang di Indonesia. Di Unpad, Noir secara teratur mengumpulkan sampah di banyak pantai untuk memonitor data sampah di seluruh Indonesia, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai landasan kebijakan.

Untuk itu, ia mengusulkan penelitian komprehensif tentang dampak sampah laut terhadap ekosistem. Indonesia setidaknya perlu mengetahui dampak sampah plastik pada organisme di kolom air, bagaimana mereka mengubah distribusi kehidupan laut, bagaimana mereka memengaruhi kesehatan manusia, dan bagaimana ini pada akhirnya memengaruhi ekonomi lokal dan nasional.

“Jika kita memiliki data yang baik dan kontinu, semua penelitian ini dapat menjadi landasan bagi kebijakan nasional atau regional untuk mengurangi sampah plastik,” kata Noir.(arm)*

Share this: