Laporan oleh Arif Maulana

[unpad.ac.id, 6/12/2020] Kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus tidak hanya dilakukan oleh orang asing. Kerabat, teman, serta orang-orang terdekat lainnya berpotensi menjadi pelaku pelecehan seksual.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Binahayati Rusyidi, PhD, kasus pelecehan seksual ternyata banyak dilakukan oleh pelaku yang notabene orang-orang terdekat bahkan orang-orang yang dipercayai korban. Ini bisa terjadi salah satunya karena ada relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban.
Saat menjadi pembicara dalam Webinar Series Program Pembinaan Mental Kebangsaan Mahasiswa Unpad, Minggu (6/12), dosen yang akrab disapa Titi ini menjelaskan, ada beragam bentuk dari pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang dekat. Mulai dari pelecehan secara verbal, menyentuh bagian privat dari korban, hingga berujung pada pemaksaan seksual.
Salah satu yang disorot adalah bentuk-bentuk kekerasan saat menjalani hubungan pacaran.
Peneliti senior di Pusat Riset Gender dan Anak Unpad ini menjelaskan, kekerasan dalam pacaran banyak terjadi di lingkungan mahasiswa. Sayangnya, banyak korban yang tidak merasa sebagai suatu tindakan kekerasan karena dianggap sebagai perwujudan dari rasa cinta.
[irp]
“Kekerasan dalam pacaran ini sama, mengandung dimensi tekanan dan pemaksaan, serta adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang, seperti melakukan pengekangan, mendominasi, hingga cemburu berlebihan yang dilakukan pacar. Itu sudah bisa dikatakan bahwa Anda adalah korban kekerasan,” papar Titi.
Hubungan akan semakin tidak sehat apabila pasangan sampai melakukan intimidasi, kekerasan fisik, bahkan pemaksaan seksual. Upaya ini jelas bukan perwujudan dari rasa cinta, melainkan sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan.
“Karena itu, Anda harus perhatikan ketika terjadi perilaku yang tidak semestinya dilakukan, Itu harus hati-hati dan nilai, apakah hubungan ini masih sehat atau tidak,” ujarnya.
Dari berbagai kasus yang mengemuka, Titi mengungkapkan, dampak dari korban pelecehan seksual sangatlah berat. Korban akan mengalami depresi, mengalami disabilitas, dan berpotensi menimbulkan berbagai penyakit. Lebih buruk lagi, kasus pelecehan seksual juga bisa berujung pada kematian korban.
Guru Besar bidang Ilmu Sastra dan Gender Fakultas Ilmu Budaya Unpad Prof. Aquarini Priyatna, PhD, mengatakan, senada dengan pelecehan seksual, perundungan juga diakibatkan oleh adanya penyalagunaan kekuasaan dalam suatu hubungan sehingga melahirkan koersi atau ancaman untuk menganiaya, mendominasi secara agresif, dan mengintimidasi.
Perundungan dilakukan berulang-ulang sehingga mengimplikasikan adanya ketidakseimbangan kekuatan dan kekuasaan. “Misalnya kalau dosen senang mengejek satu mahasiswa berulang-ulang dengan kata-kata yang sama dan terus menerus, itu termasuk kategori perundungan,” kata Prof. Aquarini.
[irp]
Ketua Pusat Riset Gender dan Anak Unpad ini menjelaskan, perundungan verbal adalah bentuk yang umum terjadi. Ungkapan-ungkapan bernada ejekan, hinaan, ancaman, hingga komentar seksual yang tidak diinginkan dikategorikan sebagai bentuk perundungan.
Bentuk lainnya bisa berupa perundungan sosial, seperti perusakan reputasi seseorang, mempermalukan, hingga mengucilkan seseorang, serta perundungan fisik, seperti memukul, menendang, hingga melukai korban.
Kampus Harus Aman
Tidak dapat dimungkiri, tindakan pelecehan seksual dan perundungan (bullying) rentan terjadi hampir di semua kampus di Indonesia. Ini tentunya menjadi pekerjaa rumah bagi setiap perguruan tinggi.
Padahal, kampus seharusnya menjadi tempat yang aman dari praktik kekerasan seksual dan perundungan. Mahasiswa memiliki hak untuk dilindungi saat berada di kampus.
Titi mengatakan, korban pelecehan maupun perundungan sebaiknya jangan diam. Segera melapor dan meminta bantuan kepada pihak yang dipercaya merupakan sikap yang harus dilakukan oleh korban.
Sementara itu, Prof. Aquarini juga mengatakan, perguruan tinggi sudah saatnya menyiapkan orang-orang sensitif yang berperan sebagai tempat mengadu para korban. Ini disebabkan, banyak kasus pelecehan ataupun perundungan yang terkubur karena tidak mendapat respons dari pihak terkait.
“Ini masalah besar, kalau kita mengalami hal yang sama berulang-ulang, itu akan mengganggu secara emosional, psikologis, mental, dan fisik,” kata Prof. Aquarini.
Unpad sendiri terus berupaya untuk mencegah tindak kekerasan seksual dan perundungan terjadi di lingkungan kampus. Adanya Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Unpad diharapkan dapat menjamin keamanan mahasiswa dari berbagai tindakan pelecehan seksual maupun perundungan.*
[irp]