Penemuan “Seaglider” Menyadarkan Kita Bahwa Indonesia Perlu Lebih Banyak Riset tentang Laut

Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unpad, Muhammad Ichsan dan Anindita Rustandi saat mengikuti program Guy’s Trust and Mantawatch UK Internship di Taman Nasional Komodo, NTT.*

Laporan oleh Arif Maulana

seaglider
Cara penggunaan teknologi seaglider atau autonomous underwater vehicle (AUV) di dalam laut. (Sumber: Noir Primadona Purba)*

[unpad.ac.id, 8/1/2021] Dosen Departemen Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad Noir Primadona Purba, M.Si., memiliki dua pandangan terkait penemuan  seaglider atau autonomous underwater vehicle (AUV) di perairan Selayar, Indonesia, baru-baru ini.

Pertama, dalam bidang kelautan, penggunaan seaglider sudah menjadi hal lumrah. Seaglider merupakan salah satu perangkat hasil pengembangan teknologi di bidang riset kelautan.

“Saat ini yang sering digunakan adalah teknologi robotik,” ujar Noir saat diwawancarai Kantor Komunikasi Publik Unpad, Jumat (8/1).

Meski sampai saat ini investigasi masih dilakukan terkait muasal seaglider tersebut, alat ini lazim digunakan untuk mengukur beragam parameter oseanografi. seperti suhu, salinitas, dan parameter lainnya.

[irp]

Perangkat seaglider bisa dipasang beragam sensor yang disesuaikan oleh kepentingan peneliti. Sensor ini dapat berupa sensor suhu, salinitas, oksigen, dan lain sebagainya.

Apabila seaglider dipasang sensor kelautan, ada kemungkinan perangkat ini tidak terkontrol sehingga akhirnya masuk ke perairan Indonesia.

“Tidak terkontrol mungkin karena hilangnya komunikasi dengan perangkat atau dalam beberapa publikasi dinyatakan bahwa jika kecepatan arus lebih cepat dari sistem kontrol seaglider, maka kemungkinan glider tidak bisa melawan arus tersebut,” jelasnya.

Dugaan ini diperkuat dengan kondisi perairan Kepulayan Selayar yang terletak di wilayah Selat Makassar. Noir menjelaskan, Selat Makassar merupakan merupakan salah satu perairan dengan arus cepat baik di permukaan dan lapisan tengah perairan akibat masukan air dari Samudera Pasifik.

Pandangan kedua, kata Noir, seaglider memang diterjunkan untuk meneliti perairan Indonesia. Karena itu, proses investigasi juga perlu melihat apakah ada sensor yang dipasang pada wahana seaglider tersebut. Sensor ini akan mendukung proses investigasi yang tengah dilakukan.

Noir menjelaskan, teknologi seperti seaglider, ROV (remotely operated vehicle), hingga argo floats adalah perangkat robotik untuk melakukan pengukuran langsung untuk riset bawah laut.

“Selain itu digunakan juga penurunan dan pemasangan instrumen, seperti misalnya Mooring-Buoy untuk tsunami dan oseanografi, CTD untuk pengukuran suhu dan salinitas dan paramater lainnya,” paparnya.

[irp]

Perkuat Riset

Terlepas dari sorotan penemuan seaglider tersebut, ada refleksi yang perlu dicermati. Indonesia perlu menguatkan aktivitas riset di bidang kelautan.

Sebagai negara yang diapit dua samudera, Indonesia memiliki potensi maritim yang besar. Sayangnya, jumlah riset maupun publikasi yang dilakukan peneliti Indonesia masih perlu diperkuat.

“Kita kekurangan sumber daya, baik manusia dan infrastruktur pendukung untuk riset laut dalam beserta di dasar perairan. Hal ini penting, tetapi publikasi terkait hal ini masih jarang ditemukan,” ujar Noir.

Indonesia, kata Noir, setidaknya mempunyai 150 jurusan yang fokus pada bidang kelautan. Selain itu, tidak lebih dari 30 instansi pemerintahan dan swasta melakukan riset di laut.

Dari segi infrastruktur, Indonesia sudah mempunyai 20 kapal riset. Namun, jika dibandingkan dengan luas laut Indonesia, hal ini dirasa masih sangat kurang. Apalagi jika digunakan untuk riset di laut lepas dan laut dalam.

Diakui Noir, perairan Indonesia merupakan salah satu laboratorium alam terbesar di dunia. Dari segi ekosistem, Indonesia mempunyai tingkat biodiversitas yang tinggi untuk ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.

[irp]

Karakteristik perairan dari timur ke barat maupun utara ke selatan sangat berbeda. Keragaman karakter ini menjadikan riset mengenai perairan Indonesia harus dilakukan secara lokal dan kontinu.

Luasnya perairan Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri bagi dunia riset. Riset perairan Indonesia tidak hanya berbicara seputar eksplorasi. Secara paralel, riset juga didorong untuk menjaga sumber daya laut.

“Hal paling penting adalah negara-negara lain juga bergantung pada kondisi laut Indonesia. Jika laut Indonesia dalam kendisi baik, maka kondisi perairan serta ekosistem di negara mereka juga pasti baik,” kata Noir.

Lebih lanjut Noir menjelaskan, riset yang dilakukan terkait laut sangat banyak. Hampir seluruh bidang ilmu memiliki pandangan penelitian tersendiri mengenai laut. Para oseanografer, atau ahli kelautan, juga sudah berusaha memetakan kondisi laut.

“Sampai saat ini masih sekitar 50% yang berhasil dieksplorasi,” kata Noir.

Mengingat sumber daya riset masih belum optimal, sejumlah peneliti maupun instansi Indonesia kerap menjalin kerja sama denhan pihak asing, terutama untuk riset terkait perairan laut lepas. Sejumlah negara, seperti Tiongkok, Perancis, Jepang, Jerman, hingga Amerika Serikat kerap melakukan kerja sama riset dengan Indonesia.

Topik penelitian yang diangkat di antaranya untuk mengetahu arus lintas Indonesia, pembalikan massa air laut (upwelling), tsunami, hingga iklim dan cuaca.*

Share this: