Tegar Hadapi Pandemi, Kesehatan Mental Diperlukan

kesehatan mental
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Prof. Hendriati Agustiani dalam diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Mengupas Dampak Psikologis Jangka Panjang Pandemi Covid-19”, Sabtu (3/4).*
kesehatan mental
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Prof. Hendriati Agustiani dalam diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Mengupas Dampak Psikologis Jangka Panjang Pandemi Covid-19”, Sabtu (3/4).*

[unpad.ac.id] Dampak pandemi Covid-19 terhadap kesehatan mental perlu diwasapadai. Dampak psikologis pandemi ini dapat terjadi pada siapa saja, termasuk pada anak-anak.

“Kita tidak bisa menyatukan akibat atau dampaknya ini pada anak dan pada orang tua. Ini akan sangat berbeda,” kata Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Hendriati Agustiani, M.Si., dalam diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Mengupas Dampak Psikologis Jangka Panjang Pandemi Covid-19” secara virtual, Sabtu (3/4).

Guru Besar yang akrab disapa Prof. Tia menuturkan, salah satu persoalan besar yang muncul dari pandemi adalah tercerabutnya rutinitas. Hal tersebut dapat menurunkan motivasi.

“Itu yang membuat persoalan cukup besar, baik untuk anak-anak maupun untuk orang tua.”

Berdasarkan hasil penelusuran literatur dampak pandemi di berbagai negara, diketahui bahwa dampak yang muncul akibat Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar di antaranya adalah anak merasakan adanya ketidakpastian, ketakutan, dan terisolasi selama pandemi.

Kegiatan belajar dan bermain terus menerus di rumah juga berkaitan dengan ketidakpastian dan kecemasan. Hal ini diakibatkan pembatasan aktivitas fisik dan bersosialisasi di sekolah.

“Layaknya manusia merupakan makhluk sosial biasanya sangat perlu bersosialisasi. Sementara sekarang semua geraknya dibatasi. Itu sebetulnya yang membuat anak-anak merasa cemas, merasa takut, merasa tidak nyaman,” ujar Prof. Tia.

Rutinitas anak juga dapat terganggu karena tidak adanya kegiatan yang terstruktur seperti di sekolah. Anak-anak pun menjadi lebih irritable, clingy, mencari perhatian, dan lebih dependen kepada orang tuanya.

“Artinya, relasi yang terbangun betul-betul dengan orang tua lebih banyak dibandingkan dengan teman sebaya dan dengan lingkungan sekolah,” jelasnya

Beberapa anak pun menunjukkan afek atau perubahan perasaan karena tanggapan dalam kesadaran individu yang lebih rendah karena tidak dapat bermain di luar dan bertemu teman-teman secara langsung.

Kehangatan Keluarga

Prof. Tia menyebutkan, yang diperlukan untuk mengatasi kondisi ini adalah adanya kehangatan yang dibangun oleh orang tua di rumah. Namun, persoalan juga muncul pada sisi orang tua, utamanya saat mereka tidak mudah meregulasi diri menghadapi situasi pandemi.

Prof. Hendriati mengatakan, anak-anak membutuhkan adanya keteraturan. Keteraturan ini dapat dibangun jika terjalin kehangatan atau adanya rasa aman oleh orang tuanya dalam melakukan aktivitas sehari-hari di rumah.

Selain itu, anak-anak juga membutuhkan adanya kebebasan untuk mengatur dirinya di rumah dengan tetap memperhatikan struktur yang diberikan sekolah atau orang tua.

“Jadi kelekatan anak dengan orang tua memang perlu dibangun agar anak tidak merasa helplessness, tidak merasa tidak berdaya.”

Menjaga Kesehatan Mental

Sementara itu, Prof. Tia mengatakan, hal terpenting untuk menjaga kesehatan mental adalah adanya resiliensi atau kelenturan. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bangkit dari peristiwa atau tantangan yang berat.

Prof. Tia menjelaskan bahwa seseorang diberikan kemampuan untuk melihat sesuatu dari dua sisi, yaitu sisi baik dan buruk. Keseimbangan inilah yang dibutuhkan.

Untuk itu dibutuhkan adanya penggunaan cognitive appraisal strategy. Prof Hendriati menilai, kemampuan ini dapat membantu seseorang dalam menghadapi emosi yang terguncang.

“Jadi kita harus mengubah mindset kita. Bahwa ini merupakan suatu tantangan. Ini merupakan sesuatu yang harus kita hadapi. Bahwa kita mengalami keterpurukan di satu sisi, oke, tapi kita harus bangkit karena kita semua harus berjalan. Ini yang membantu ketahanan terhadap stres atau gejala depresi,”

Selain itu, agama dan ilmu pengetahuan pun saling melengkapi, terutama pada kondisi yang cukup menekan untuk mengatasi kesulitan. Kajian mengenai rasa bersyukur pun banyak dilakukan saat ini.

“Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa itu merupakan energi positif yang membuat orang mau beradaptasi dan memunculkan motivasi baru untuk tetap bisa berjalan,” imbunya.

Dukungan sosial juga menjadi hal yang penting, baik dari seseorang maupun sekelompok orang. Dukungan sosial ini kuncinya adalah adanya kehangatan, keterbukaan, dan komunikasi dua arah.

“Tapi tetap menjaga independensi dan interdependensi,” pungkasnya.(arm)*

Share this: