Praktik Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Sudah Dilakukan Nenek Moyang Nusantara

keanekaragaman hayati
Guru Besar Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Prof. Parikesit, M.Sc., PhD, menjadi narasumber dalam Satu Jam Berbincang Ilmu (Sajabi) “Memaknai Hari Keragaman-Hayati” yang diselenggarakan Dewan Profesor Unpad, Sabtu (22/5) lalu.*

[unpad.ac.id, 24/5/2021] Guru Besar Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Prof. Parikesit, M.Sc., PhD, mengungkapkan bahwa praktik mempertahankan keanekaragaman hayati bukanlah hal baru di Indonesia. Praktik ini telah dilakukan sejak lama oleh leluhur bangsa Indonesia.

“Jika terus dilakukan, maka keberadaan jenis-jenis yang memberikan manfaat tentunya akan dipertahankan di muka bumi,” ujarnya dalam Satu Jam Berbincang Ilmu (Sajabi) “Memaknai Hari Keragaman-Hayati” yang diselenggarakan Dewan Profesor Unpad, Sabtu (22/5) lalu.

Dikatakan Prof. Parikesit, beragam slogan terkait Hari Keanekaragaman Hayati seperti “our solutions are in nature”, “we are part of the solution”, “Simple in means, rich in ends” sudah dilaksanakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.

“Leluhur kita sebetulnya sudah melaksanakan slogan-slogan ini,” kata Guru Besar bidang keahlian lingkungan dan sains keanekaragaman hayati ini.

Praktik tersebut di antaranya terlihat dari pembungkus makanan masyarakat Sunda dan Jawa yang banyak menggunakan daun. Selain itu, sistem teras dan sistem talun yang telah dipraktikkan di Indonesia sesunggunya telah mencerminkan  upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati.

Dijelaskan Prof. Parikesit, sistem talun dapat menjamin keberadaan berbagai jenis satwa dan tanaman, baik yang bermanfaat maupun yang belum diketahui manfaatnya. Ia pun mengusulkan agar sistem talun dapat menjadi bagian dari Globally Important Agricultural Heritage System yang merupakan program dari PBB.

“Jadi ini menjadi tugas kita untuk mendorong sistem yang berkembang secara tradisional dan itu menjadi milik bangsa Indonesia yang kemudian kita usulkan ke tingkat global menjadi yang harus dilindungi oleh masyarakat  dunia,” ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Parikesit menjelaskan bahwa peradaban manusia modern menjadi ancaman terbesar bagi keankearagaman hayati di muka bumi. Hal ini terjadi karena tidak bijaknya manusia dalam menempatkan alam berikut keanekaragaman hayatinya sebagai komoditas untuk dieksploitasi.

Ketua Pusat Unggulan Linkungan dan Ilmu Keberlanjutan Unpad ini menyebutkan bahwa manusia kini telah  berkembang menjadi “the top of the top predator”.

“Berbagai kegiatan manusia di berbagai sektor pembangunan dianggap sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya banyak korban, yang menyebabkan kepunahan, yang menyebabkan kelangkaan,” katanya.

Perkembangan teknologi informasi pun disebut memiliki sisi positif dan negatif bagi keanekaragaman hayati. Di satu sisi, perkembangan pada era reformasi diduga dapat mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati. Namun di sisi lain, melalui perkembangan teknologi informasi, propaganda terkait pentingnya mengkonservasi keanekaragaman hayati bisa dilakukan oleh masyarakat luas, tidak terbatas oleh para ilmuan atau akademisi melalui penelitian.

“Jadi berbagai propaganda pentingnya melindungi keanekaragaman hayati dilakukan juga oleh masyarakat umum, melalui propaganda-propaganda yang sangat populer, dan ini dianggap sangat efektif,” katanya.(arm)*

Share this: