Nobel Perdamaian 2021: Pers di Antara Tantangan dan Tekanan

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Dr. Pandan Yudhapramesti, M.T., menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Pena dan Kebebasan: Nobel Perdamaian 2021” secara virtual, Sabtu (4/12/2021).*

[Kanal Media Unpad] Tahun ini, Komite Nobel menghadiahi Nobel Perdamaian kepada dua jurnalis dunia, yaitu Maria Ressa dari Filipina dan Dmitri Muratov dari Rusia. Penghargaan yang diberikan kepada dua jurnalis ini merefleksikan bahwa pers berperan penting dalam kehidupan.

“Ini momentum untuk menyadarkan kita semua tentang apa sebetulnya peran pers dalam kehidupan saat ini,” ungkap Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Dr. Pandan Yudhapramesti, M.T., pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Pena dan Kebebasan: Nobel Perdamaian 2021” secara virtual, Sabtu (4/12/2021) lalu.

Kemajuan teknologi saat ini memudahkan setiap orang untuk mendapatkan banyak informasi, bertukar informasi, hingga membagikan informasi. Namun, kontrol sosial terhadap kebenaran suatu informasi seringkali terlupakan. Kondisi ini menyebabkan disinformasi di masyarakat marak terjadi.

Dosen Program Studi Jurnalistik ini menuturkan, jurnalisme adalah vaksin terbaik melawan disinformasi. Jurnalisme memiliki cara efektif dalam melawan disinformasi. Cara ini mampu memastikan bahwa debat publik terhadap informasi didasarkan pada beragam fakta yang ada.

“Debat publiknya komprehensif. Kadang-kadang kita ketika mencari informasi secara mandiri, barangkali kita terjebak dalam filter bubble,” tutur Pandan.

Meski berperan penting dalam menyaring informasi, pers secara global masih dihadapkan pada tantangan dan tekanan. Pandan mengutip data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang telah melakukan pendataan komprehensif terhadap kekerasan jurnalis di Indonesia.

Berbagai tekanan terhadap jurnalis Indonesia meliputi: intimidasi, kekerasan fisik, pelarangan liputan, perusakan hingga perampasan alat atau data hasil liputan, ancaman atau teror, hingga ancaman melalui saluran digital (serangan siber dan praktik doxing). Sejak 2006, tercatat ada 890 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang diungkap AJI.

Selain tekanan, jurnalisme Indonesia juga menghadapi tantangan kualitas. Panda memaparkan, jumlah media massa di Indonesia tumbuh subur mencapai 47 ribu. Dari jumlah tersebut, banyak media yang tidak memenuhi syarat sebagai pers.

“Sangat memprihatinkan bahwa  wartawannya tidak semua memiliki kompetensi. Ada yang tidak memiliki pengetahuan jurnalistik ada pula yang tidak dibekali pelatihan bahkan sekolah jurnalistik,” ujarnya.*

Share this: