Sejarah Mencatat, Pasca-Erupsi Gunung Api Nusantara Menarik Perhatian Ahli di Eropa

Erupsi Gunung Anak Krakatau tahun 2008. (Foto: Wikipedia)*
Erupsi Gunung Anak Krakatau tahun 2008. (Foto: Wikipedia)*

[Kanal Media Unpad] Eksotisme gunung api Indonesia telah menarik perhatian para ahli sejak zaman kolonial. Hal ini disebabkan, di balik bencana vulkanik yang menyebabkan kerusakan infrastruktur hingga mampu menelan korban jiwa dan materi, ada proses revegetasi ekosistem pasca-erupsi yang memukau para ahli saat itu.

Literatur pasca-erupsi gunung api di Nusantara ternyata telah banyak dilakukan oleh ahli dari bangsa Eropa. Hal ini mendorong Sejarawan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, M.A., melakukan pendokumentasian dari jejak penelitian para ahli botani masa kolonial dalam mempelajari kondisi pasca-erupsi di Hindia Belanda.

Dalam penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Sejarah, Agustus 2019, Fadly memaparkan bahwa geliat para ilmuwan untuk meneliti dampak bencana vulkanik kian mengemuka setelah dua bencana erupsi besar gunung api terjadi pada abad ke-19, yaitu erupsi Gunung Tambora pada 1815 dan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1883.

Kedua erupsi tersebut sama-sama terjadi di Hindia Belanda.

Kendati terjadi jauh dari Benua Biru, dua bencana erupsi ini telah menyita perhatian dunia. Ini disebabkan, erupsi Tambora dan Krakatau berdampak pada perubahan iklim global. Perubahan ini kemudian berakibat pada kerusakan lahan pangan dan kelaparan di berbagai penjuru dunia.

Dalam jangka panjang, dampak bencana vulkanik Tambora dan Krakatau juga memengaruhi kondisi vegetasi di wilayah sekitar gunung api. Pengaruh abu vulkanik terhadap kondisi tanah kemudian menyita perhatian para botanis.

Fadly mengungkapkan, ada perbedaan dari perhatian para botanis terhadap kondisi vegetasi pasca-erupsi Tambora dan Krakatau. Erupsi Tambora yang terjadi 68 tahun sebelum Krakatau dinilai menjadi erupsi terbesar dalam kurun 500 terakhir saat itu.

Namun, peristiwa ini belum banyak mendapat perhatian dari para ilmuwan untuk menelitinya.

Krakatau Lebih Lengkap

Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, M.A. (Foto: Dadan Triawan)*

Erupsi Krakatau serupa dengan Tambora, yaitu sama-sama memiliki dampak global setelahnya. Namun, Fadly menemukan, yang membedakan adalah letusan Krakatau memiliki pengumpulan informasi lebih lengkap dan tersebar lebih cepat sebelum sebaran debu vulkaniknya.

Penulis buku Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 Simon Winchester menyebut, sebaran informasi yang cepat disebabkan adanya kemajuan teknologi komunikasi berupa jaringan internasional kabel telegraf dasar laut, sehingga kabar erupsi dapat diwartakan di London 36 jam setelah erupsi berlangsung.

Selain itu, pasca-erupsi Krakatau menjadi lahan studi yang unik bagi botanis untuk mengkaji bagaimana restorasi sistem hujan hujan tropis di pulau itu setelah hancur total disapu erupsi.

Beberapa ahli botani, sebut saja Treub (1886), Verbeek (1886); Backer (1888); Valeton (1905), Ernst (1907), Ter Braake (1945), hingga Mohr (1945) tercatat melakukan penelitian vegetasi pasca-erupsi Krakatau.

Catatan penelitian tersebut kemudian didokumentasikan oleh Fadly untuk selanjutnya direkonstruksi; bagaimana Krakatau menjadi contoh kasus menarik untuk dikaji mengenai sistem restorasi vegetasi pasca-erupsi, sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan kolonial.

Perkembangan revegetasi pasca-erupsi Krakatau memang terus menarik perhatian para ilmuwan. Bukan hanya untuk penelitian yang menghasilkan publikasi dan diskusi, tetapi juga punya pengaruh kuat bagi kehidupan sosial ekonomi. Selain itu, penelitian ini juga berpengaruh signifikan terhadap khazanah penelitian dan publikasi terkait botani di Hindia Belanda.

Pelajaran Penting

Fadly menuliskan, berbagai penelitian vegetasi Krakatau pasca-erupsi di kalangan ahli botani memiliki tujuan memetakan masalah untuk mencari solusi bagaimana proses revegetasi berlangsung di kawasan gunung api.

Publikasi penelitian para botanis terhadap Krakatau sebagai “laboratorium dunia botani” turut mengembangkan gairah penelitian botani di Hindia Belanda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bencana erupsi gunung-gunung api dalam jangka panjang dapat memengaruhi kesuburan tanah. Peran alam dalam proses revegetasi Krakatau merupakan fase awal sebelum berlangsungnya proses kolonisasi wilayah sekitar bencana erupsi oleh manusia.

Artinya, revegetasi Krakatau dari hasil penelitian para ahli membuka peluang bagi manusia dalam memanfaatkan wilayah di sekitar gunung api untuk dikoloni menjadi sumber penghidupan.

Minimnya data detail mengenai kondisi sebelum erupsi menjadi pelajaran penting bagi botanis untuk mengkaji bagaimana transisi gunung api pasca-erupsi yang dalam perkembangannya menunjukkan laju revegetasi mengagumkan.*

Share this: