Prof. Atje Setiawan Abdullah Raih Rekor MURI, Orang Pertama yang Kenalkan Etno-informatika

Prof. Dr. Atje Setiawan Abdullah, M.S., M.Kom., bersama sertifikat rekor MURI yang diterimanya. (Foto: Arif Maulana)*

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Atje Setiawan Abdullah, MS, M.Kom., meraih rekor Musem Rekor-Dunia Indonesia (MURI) untuk bidang kajian Etno-informatika. Tim MURI menilai, Prof. Atje menjadi orang pertama yang mengenalkan kajian Etno-informatika di Indonesia bahkan dunia.

Penyerahan piagam rekor MURI dilakukan langsung oleh Ketua Muri Prof. Dr. H.C. Jaya Suprana kepada Prof. Atje pada 17 Desember 2021 lalu. Tanggal tersebut bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-67 dari Prof. Atje.

Ditemui Kanal Media Unpad, Prof. Atje tidak mengira apa yang sudah ditekuninya selama lebih dari 8 tahun ini berhasil mencetak rekor dunia. Pada awalnya, guru besar bidang Ilmu Data Mining ini melakukan penelitian kecil yang berkaitan dengan budaya Sunda.

“Pada waktu itu, Unpad punya program ‘Unpad Nyaah ka Jabar’. Dari sana, saya jadi berfikir, apa yang bisa direalisasikan dalam program yang digabungkan ke dalam pelestarian budaya pada salah satu pilar penelitian Unpad” kata guru besar dari Departemen Ilmu Komputer FMIPA Unpad tersebut.

Pemikiran itu kemudian ditambah dengan dorongan bahwa penelitian harus memiliki manfaat pada masyarakat. Berangkat dari dua arah tersebut, Prof. Atje mulai menganalisis berbagai data seputar masyarakat dan budaya.

Salah satu penelitiannya yang populer adalah klasifikasi nama orang (Antroponimi) di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat serta Kota Cimahi. Ia mengklasifikasikan nama-nama yang kerap digunakan masyarakat Sunda di satu wilayah  serta nama-nama desa di Indonesia melalui proses penambangan data (Data Mining).

Data yang dihasilkan setidaknya dapat memberi gambaran mengenai kondisi pelestarian budaya di masyarakat Sunda. Prof. Atje mengatakan, kajian ini bukan untuk mengembalikan fenomena ke jaman dulu, namun untuk mengajak masyarakat agar lebih memperhatikan eksistensi budaya dan bahasa daerah saat ini dan masa mendatang.

“Kita tidak bisa mencegah perubahan budaya secara langsung sesuai perkembangan jaman. Akan tetapi setidaknya membantu pemerintah dalam memelihara dan melestarikan budaya-budaya yang hampir hilang itu,” kata Prof. Atje.

Selain menemukan irisan nama-nama populer digunakan, Prof. Atje berhasil menemukan nama-nama yang relatif hilang atau nama baru yang muncul dalam beberapa tahun terakhir di Sumedang. Total ada 10 nama populer di wilayah Sumedang yang berhasil dihimpun oleh Prof. Atje.

Ia juga melakukan penelitian mengenai klasifikasi nama tempat (Toponimi) di Indonesia menggunakan data nama desa seluruh Indonesia yang dikeluarkan Badan Informasi Geospasial. Melalui analisis matematis yang dilakukan, ia menemukan ada irisan nama-nama desa yang sering muncul di berbagai wilayah di seluruh Indonesia yang dibagi ke dalam 6 pulau besar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap wilayah di Indonesia memiliki kekhasan dan perbedaan.  Dalam prakteknya kita harus menghargai perbedaan dan menjunjung kebersamaan yang menggambarkan “Bhinneka Tunggal Ika”. Pengolahan data Etno-informatika untuk Antroponimi dan Toponimi dilakukan menggunakan pemrograman Java dan perangkat lunak yang dibangun telah mendapatkan Hak Cipta dari Kemenkumham Republik Indonesia.

Sederhana tapi Bermanfaat bagi Masyarakat

Prof. Ace Setiawan Abdullah didampingi istri Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana berfoto bersama dengan Ketua MURI Jaya Suprana usai pemberian penghargaan di Jakarta, 17 Desember 2021 lalu.*

Kajian yang dilakukan Prof. Atje sebenarnya sederhana. Bahkan tidak jarang orang yang mempertanyakaan manfaat dari kajian tersebut.

“Dulu banyak yang bertanya kepada saya, apa untungnya meneliti budaya ini? Seiring waktu saya tahu jawabannya, teknologi informasi bisa digunakan untuk menyebarkan informasi budaya baik nasional dan internasional,” tuturnya.

Prof. Atje melanjutkan, masyarakat umumnya sulit memahami berbagai istilah dalam bidang Matematika ataupun Teknik Informatika. Namun, ternyata jika diterapkan pada fenomena yang ada di masyarakat, ilmu tersebut akan lebih bermanfaat.

“Sederhana saja, masyarakat secara umum  itu bukan ingin diberikan pemahaman rumus yang canggih dan rumit, tetapi ingin mendapatkan  rumusan yang mudah dimengerti dan dapat diaplikasikan,” jelasnya.

Menyadari bahwa kajian ini masih terbilang baru, Prof. Atje “berani” menamakannya sebagai kajian Etno-informatika. Diakuinya, belum ada sebelumnya yang mengenalkan konsep kajian ini. Dengan demikian, Prof. Atje menjadi pencetus istilah Etno-informatika.

“Di bidang ilmu komputer sendiri sudah ada istilah Data Masyarakat dan Data Historis, tetapi itu masih digambarkan secara umum. Nah, saya lebih fokus ke bidang Informatika untuk budaya ,” imbuh Prof. Atje

Kajian ini pun konsisten diperkenalkan Prof. Atje pada beberapa forum ilmiah di berbagai perguruan tinggi dan persekolahan maupun pemerintahan. Puncaknya ketika ia diundang menjadi pembicara pada acara “Jaya Suprana Show” yang digelar Jaya Suprana Institute.

Paparan yang disampaikan ini kemudian menjadi pertimbangan MURI  untuk menganugerahi Prof. Atje dengan rekor MURI.

Pada penganugerahan rekor MURI, Jaya Suprana menyampaikan bahwa Prof. Atje memelopori penamaan satu bidang ilmu yang belum ada di dunia. Dengan demikian, rekor yang diterima Prof. Atje bukan lagi rekor nasional, tetapi sudah menjadi rekor dunia.

“Ini yang saya impikan, Anda harus menciptakan ilmu-ilmu baru untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia ini bukan bangsa yang kalah dalam ilmu pengetahuan,” kata Jaya Suprana.

Pengakuan internasional yang sudah diraih adalah diikutsertakannya Prof. Atje dalam Konsorsium Riset Internasional “Research Innovation and Staff Exchange Social Media Analytics” (RISE_SMA): for Society and Crisis Communication” dengan dana dari Uni Eropa untuk skema Marie Sklodowska Currie Action Horizon 2020. Penelitian kerja sama internasional ini dilaksanakan untuk kurun waktu 2019-2024.

Pada konsorsium yang melibatkan sejumlah perguruan tinggi dan lembaga penelitian dari beberapa negara ini, Prof. Atje bersama akademisi FMIPA Unpad lainnya Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana, Dr. Juli Rejito, serta Dr. Diah Chaerani berfokus pada pemanfaatan teknologi informasi dalam memelihara dan melestarikan kebudayaan di era globalisasi.

Memperluas Domain Penelitian dan Pengabdian

Banyak peluang yang bisa dilakukan menggunakan kajian Etno-informatika. Salah satu yang sedang dilakukan Prof. Atje adalah menyusun situs (website) untuk menyajikan data informasi kebudayaan di satu daerah.

Kendati saat ini pemerintah sudah memiliki website yang menampilkan data warisan budaya takbenda di Indonesia, namun menurut Prof. Atje analisis data tersebut masih kurang mendalam. Satu di antaranya adalah informasi yang disajikan masih sebatas data rekap kebudayaan per provinsi.

Dari situ, ia dan tim masuk untuk menyajikan data per kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Kabupaten Sumedang menjadi proyek perdana dalam penyusunan prototipe website pariwisata budaya bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olah Raga Kabupaten Sumedang.

“Di lapangan  orang sering bertanya, penelitian  Etno-informatika ini manfaatnya untuk apa? Akhirnya saya jawab bahwa Etno-informatika bisa efektif digunakan untuk penyebaran informasi budaya, sehingga budaya kita bisa dikenalkan, dilestarikan dan mengglobal,” paparnya.

Rencananya prototipe website  ini tidak sekadar menampilkan informasi, tetapi juga menjadi media efektif dalam pemasaran pariwisata budaya di suatu kota/kabupaten di Indonesia. Nantinya, orang tinggal masuk ke situs tersebut dan dapat melihat konten detail mengenai apa saja kebudayaan maupun tempat wisata yang ada.

Selain itu, website ini wujud adanya pengelolaan terintegrasi dari pariwisata dan budaya yang didukung teknologi informasi untuk bermanfaat bagi masyarakat.

Tentunya, promosi yang baik dan tepat akan turut meningkatkan jumlah wisatawan ke kota tersebut. Prof. Atje optimistis melalui cara ini, Etno-informatika bisa berdampak bagi masyarakat dalam upaya  melestarikan budaya dan meningkatkan ekonomi masyarakat.*

Share this: