Ini Pendampingan yang Dilakukan Unpad terhadap Penyintas Kekerasan Seksual

Kampus Universitas Padjadjaran di Jatinangor. (Foto: Dadan Triawan)*
Gedung Rektorat Unpad, Jatinangor. (Foto: Dadan Triawan)*

[Kanal Media Unpad] Universitas Padjadjaran melalui Pusat Riset Gender dan Anak meresmikan fasilitas “Ruang Aman” bagi korban dan penyintas kekerasan seksual, Kamis (21/4/2022) lalu. Ruang ini diharapkan menjadikan Unpad menjadi kampus yang ramah dan mampu merangkul para penyintas kekerasan seksual.

Anggota tim Puris Gender dan Anak Unpad Karolina L. Dalimunthe, M.Psi., Psikolog, mengatakan, saat ini “Ruang Aman” diprioritaskan menerima rujukan keluhan jika terjadi permasalahan kekerasan seksual di lingkungan Unpad.

“Rujukannya seringkali berupa penyintas/korban kekerasan seksual yang membutuhkan  dukungan/dampingan psikologis dan sosial,” tutur Karolina saat dihubungi Kanal Media Unpad.

Usai menerima keluhan, tim kemudian mulai melaksanakan kegiatan pendampingan berupa pertemuan yang dilakukan seminggu sekali untuk setiap penyintas. Pihaknya juga memfasilitasi pertemuan secara daring melalui telekonferensi, telepon, atau chat apabila penyintas belum bersedia melakukan tatap muka langsung.

Karolina menjelaskan, pendampingan penyintas acapkali membutuhkan waktu lebih dari satu sesi pertemuan. Minimal ada empat kali pertemuan untuk satu penyintas. Setiap satu sesi pertemuan memiliki durasi kurang lebih 60 sampai 120 menit. Aktivitas pertemuan lanjutan akan menjadi tindak lanjut dari kegiatan pendampingan individual, jika penyintas membutuhkan hal tersebut.

Dosen Fakultas Psikologi Unpad tersebut mengatakan, pendampingan terhadap korban dan penyintas kekerasan seksual merupakan aktivitas yang sensitif dan penuh kehati-hatian. Pasalnya, trauma kekerasan berpotensi menghilangkan kepercayaan (trust) penyintas terhadap lingkungannya.

“Hal ini membuat mereka berhati-hati dalam berinteraksi, terutama dengan orang yang baru dikenalnya, sehingga tidak mudah membangun relasi dan mendapat kepercayaan dari penyintas,” kata Karolina.

Kendati gejala taruma, terutama saat peristiwa kekerasa seksual yang sebenarnya sudah berlalu, bagi penyintas hal ini masih dirasakan sebagai suatu yang nyata. Akibatnya, rasa takut masih sering dirasakan bahkan diekspresikan secara spontan.

Rasa trauma, perasaan ketidakberdayaan, hingga kecenderungan menyalahkan diri sendiri menjadi tantangan tersendiri dalam pemulihan trauma korban dan penyintas.

Karena itu, di “Ruang Aman” tersebut, selain melakukan pendampingan individual oleh Psikolog, pendampingan juga dilakukan dengan relawan dari kelompok sebaya. Karolina mengatakan, upaya ini dilakukan untuk membangun kembali perasaan aman dan kepercayaan pada orang lain. Upaya ini juga dapat dipakai sebagai outlet emosi dan sumber dukungan sosial bagi penyintas.

Upaya ini penting mengingat kebanyakan yang dirampas dari korban kekerasan seksual adalah rasa aman dan kepercayaan pada diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, lanjut Karolina, penataan ekologis dan sistemik di kampus yang ramah korban akan mendukung proses pemulihan. “Saat kampus tidak memiliki kejelasan prosedur, tidak transparan pada penyelesaian kasus bahkan membiarkan stigma, bahkan penilaian yang cenderung menyalahkan korban maka kondisi ini akan dapat menghambat proses pemulihan,” ujarnya.

Saat ini Puris Gender dan Anak juga sedang mengembangkan bentuk aktivitas lanjutan berupa kelompok berbagi dan ekperimentasi seni yang dapat mendukung pemulihan.

“Tentunya pemulihan dan kesejahteraan dari semua penyintas yang mendapat dampingan dari Puris dan harapannya penyintas mampu bangkit dan mengaktualisasikan dirinya secara optimal,” tutup Karolina.*

Share this: