[Kanal Media Unpad] Memasuki bulan Oktober 2022, Indonesia mulai memasuki awal musim hujan. Hal ini mendorong masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan akan potensi bencana yang bisa terjadi. Selain itu, lembaga terkait pun perlu menguatkan sinergi mitigasi dini agar masyarakat dapat terhindar dari risiko akibat bencana.
Dosen Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Dr. Raden Irvan Sophian, M.T., mengatakan, ada dua potensi bencana yang kerap terjadi saat musim hujan. Dua bencana tersebut, yaitu: banjir dan tanah longsor. Banjir bisa berupa genangan hingga luapan air dengan intensitas yang besar atau kerap disebut dengan banjir bandang.
Mengantisipasi dampak dari dua bencana tersebut, pengawasan dan kewaspadaan dini perlu dilakukan. Mengenali wilayah yang ditempati dari sudut pandang potensi kebencanaan perlu dilakukan, baik oleh masyarakat, lembaga terkait, ataupun oleh para peneliti melalui berbagai kajian.
Antisipasi

Untuk antisipasi bencana banjir maupun longsor, Irvan menjelaskan ada beberapa upaya mitigasi yang bisa dilakukan masyarakat. Pertama, masyarakat harus mengenal kondisi topografi wilayahnya, apakah di hulu, hilir, punggungan, lembahan, atau dataran.
Selain mengenal topografi, pengenalan kondisi lahan juga perlu diperhatikan. Misalnya, apakah di wilayah hulu ada perubahan fungsi lahan, atau apakah kondisi sungai yang mengalir menjadi sempit karena pembangunan.
“Dengan memahami itu kita akan tahu daerah kita berpotensi banjir bandang atau berpotensi tergenang cukup tinggi,” ujarnya.
Upaya kedua adalah menyiapkan sistem peringatan dini (early warning system). Pengenalan topografi dan kondisi wilayah akan menentukan seberapa besar potensi bencana yang akan terjadi. Hal ini juga mendorong masyarakat untuk waspada dan tahu lokasi mana yang bisa dipersiapkan untuk evakuasi apabila banjir sewaktu-waktu terjadi.
Selain itu, masyarakat juga bisa melakukan antisipasi dengan memosisikan benda-benda berharga di tempat yang aman serta menyiapkan perlengkapan yang sesuai dengan bencana banjir.
Agar mitigasi berjalan optimal, upaya ini memerlukan koordinasi baik antarwilayah. Koordinasi wilayah hulu dengan hilir perlu dilakukan agar masyarakat bisa mengantisipasi sedini mungkin terhadap bencana banjir. “Sayangnya ini yang belum seluruhnya optimal dalam melaksanakan koordinasi tersebut,” kata Irvan.
Upaya ketiga adalah mewaspadai insiden ikutan saat bencana terjadi. Beberapa di antaranya mewaspadai arus air saat banjir terjadi, mengenal titik-titik lubang dan saluran air yang kemungkinan tidak terlihat saat banjir, hingga mematikan arus listrik ketika banjir menggenang untuk mencegah sengatan listrik.
“Kemudian siapkan lokasi evakuasi yang lebih tinggi dari banjir, serta siapkan penampungan air bersih untuk menghindarkan kita dari penyakit kulit,” tambahnya.
Upaya lainnya adalah mengenal struktur bangunan. Identifikasi bangunan yang riskan runtuh akibat terjangan air harus dilakukan. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan korban tertimpa runtuhan bangunan.
Lebih lanjut Irvan menyebut bahwa tanah longsor merupakan bencana geoklimatologi, atau bencana yang diakibatkan faktor cuaca (hujan) dan kondisi geologi (genetik wilayah), seperti karakteristik batuan dan tanah, struktur geologi, topografi lahan, kadar air yang terkandung dalam material batuan dan tanah. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya longsor adalah getaran akibat kendaraan berat atau aktivitas manusia lainnya serta gempa bumi.
Deteksi Dini
Peristiwa tanah longsor sendiri dapat diantisipasi dengan melihat gejala dan kondisi sebelum terjadi bencana. Kondisi awal bisa dilihat dari adanya retakan di bagian atas (puncak) harus segera ditutup oleh tanah atau ada gundukan tanah di bagian kaki lereng. Adanya tanah amblas. Pohon dan tiang listrik miring. Selain itu, biasanya diawali dengan longsoran kecil di beberapa titik serta keluarnya air dari dalam lereng.
“Jika ada indikasi air yang keluar pada lereng kritis harus diwaspadai. Lereng bisa longsor sewaktu-waktu jika kadar airnya meningkat,” kata Irvan.
Kajian terhadap potensi kebencanaan juga perlu dilakukan, seperti berapa tinggi dan kemiringan dari lereng, berapa tebal tanah, bagaimana saluran airnya, hingga apakah ada perubahan fungsi lahan dari lereng tersebut. Juga apakah termasuk daerah rawan longsor berdasarkan peta zona kerentanan gerakan tanah yang diterbitkan oleh Badan Geologi.
Salah satu tanda-tanda yang perlu diwaspadai ketika terjadinya longsor adalah terdengar suara gemuruh dari arah lereng. Jika terdengar suara gemuruh, masyarakat di kawasan rawan sebaiknya mengevakuasi ke lokasi yang aman.
Irvan menambahkan, sistem pendeteksi dini bencana longsor harus bisa berfungsi. Sistem yang baik akan mendorong masyarakat mengevakuasi lebih dini sebelum bencana terjadi. Tentunya, jalur evakuasi harus aman dari terjadinya longsoran ataupun longsoran susulan.
“Yang terpenting, saat proses evakuasi (setelah bencana terjadi), kebiasaan menonton bencana harus dihilangkan. Jangan menonton di jalur evakuasi. Ini dapat menyebabkan korban jika ada longsoran susulan, maka hindari dan jauhi area bencana.” pungkasnya.*