Dosen Unpad Dorong Pengembangan Desa Wisata di Desa Sindangsari, Sumedang

Tiga dosen Universitas Padjadjaran Kasno Pamungkas, M.Hum., (FIB), Prof. Dr. Eng. I Made Joni, M.Sc., (FMIPA), dan Ujang Subhan, M.Si., (FPIK) merintis pengembangan kawasan desa wisata di Desa Sindangsari, Kecamatan Sukasari, Sumedang. (Foto: Dadan Triawan)*

[Kanal Media Unpad] Pengembangan kawasan desa wisata bukan sebuah proses menjadikan suatu desa menjadi destinasi wisata. Lebih dari itu, kunci dari pengembangan desa wisata adalah memberdayakan masyarakat desa sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang ujungnya meningkatkan kesejahteraan.

Hal inilah yang didorong tiga dosen Universitas Padjadjaran melalui Program Pengabdian pada Masyarakat (PPM) Desa Binaan Unpad. Tiga dosen tersebut, Kasno Pamungkas, M.Hum., (FIB), Prof. Dr. Eng. I Made Joni, M.Sc., (FMIPA), dan Ujang Subhan, M.Si., (FPIK) merintis pengembangan kawasan desa wisata di Desa Sindangsari, Kecamatan Sukasari, Sumedang.

Inisiasi pengembangan Desa Sindangsari menjadi desa wisata didasarkan atas berbagai potensi yang terdapat di desa yang terletak di sebelah utara kampus Unpad Jatinangor. Dari hasil pemetaan yang dilakukan, desa ini memiliki potensi berupa keindahan alam, kreativitas masyarakat, hingga potensi komoditas yang dapat dikembangkan menjadi nilai jual.

Koordinator PPM Desa Binaan Unpad di Desa Sindangsari Kasno Pamungkas menjelaskan, dari segi panorama, Desa yang berada di kaki Gunung Manglayang ini memiliki potensi daya tarik wisata. Saat ini, Sindangsari memiliki lokasi awal pendakian Gunung Manglayang, tepatnya di wilayah Baru Beureum. Lokasi ini bisa dikolaborasikan dengan potensi komoditas yang ada sehingga dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata terintegrasi.

Saat melakukan kunjungan ke Desa Sindangsari, Kasno memaparkan, tim telah memetakan tiga aktivitas awal sebagai upaya merintis desa wisata. Tiga aktivitas ini diwujudkan melalui kegiatan PPM yang dilakukan setiap dosen.

Dalam hal ini, Kasno mengangkat tema riset pengembangan eduwisata terintegrasi berbasis kopi Manglayang. Prof. Made mengangkat tema riset penerapan panel surya untuk mendukung pasokan listrik energi terbarukan, sedangkan Ujang mengangkat tema riset pengembangan usaha budi daya ikan hias berbasis eduwisata.

“Jadi basis dari desa wisata ini adalah pemberdayaan masyarakat, bukan ke pemilik modal,” kata Kasno.

Eduwisata Kopi

Kopi menjadi komoditas vital yang dimiliki Sindangsari. Wilayah ini telah memiliki fasilitas green house dan penggilingan kopi. Produksinya mencapai 4.000 ton per tahun dan sudah coba diperkenalkan hingga ke luar Jawa Barat.

“Kopi yang dikembangkan di wilayah Sindangsari ini termasuk kopi premium berjenis Arabika, sehingga harga jualnya lumayan,” kata Kasno.

Untuk mengandalkan dari sektor penjualan kopi saja, Kasno menilai belum optimal. Pasalnya, produksi kopi tetap harus menunggu masa panen. Untuk itu, Kasno mengemas potensi kopi ini menjadi paket wisata berbasis edukasi.

Melalui paket ini, wisatawan yang menyasar pada penikmat kopi dan pelajar sekolah dapat menikmati keindahan alam dengan hiking atau berkemah sembari belajar kopi. “Wisatawan akan dikenalkan bagaimana pengolahan kopi dari A ke Z sambil menikmati alam sekitarnya,” ujar Kasno.

Budi Daya Ikan Hias

Ujang sendiri memilih mengembangkan budi daya ikan hias di Sindangsari. Di desa ini, sudah ada yang mengembangkan ikan konsumsi dan telah dilempas ke pasar. Namun, ada alasan tersendiri mengapa ia memilih budi daya ikan hias ketimbang mengembangkan budi daya ikan konsumsi.

Alasan awal didasarkan karakteristik topografi wilayah. Kondisi Sindangsari yang berbukit akan sulit untuk membuka budi daya ikan konsumsi dengan luasan kolam yang besar. “Karena di sini kontur tanah terasering, tentu ini akan kesulitan kalau bersaing dengan sentra yang lebih besar seperti di wilayah rendah,” kata Ujang.

Alasan kedua adalah tingginya modal budi daya ikan konsumsi. Ujang menjelaskan, sebagian besar biaya operasional budi daya ikan konsumsi dihabiskan untuk pakan. Untuk mengembangkan bisnis komersial, penggunaan pakan pun harus berkualitas. Jika daya nilai jualnya rendah, margin keuntungan yang diterima akan tipis.

Alasan terakhir adalah melihat kegemaran masyarakat Sindangsari dalam memelihara ikan. Beberapa keluarga memiliki kolam ikan hias semisal koi. Pengetahuan warga tentang pemeliharaan ikan juga sudah baik. Ini dibuktikan dengan rutinnya masyarakat mengikuti beberapa kontes ikan hias.

“Jadi tinggal diperbaiki teknik breeding dan peningkatan kualitas air,” imbuhnya.

Melihat potensi terakhir, Ujang pun menginisiasi untuk mengembangan kawasan ekonomi produktif berbasis ikan hias. Beberapa komoditas, seperti koi, rasbora galaxy, hingga brushmouth bisa dikembangkan di Sindangsari.

“Ke depan ini bisa menjadi kampung wisata ikan hias yang terintegrasi. Jadi nanti ketika orang datang mau ambil ikan, sambil nunggu ikan, dia bisa sambil ngopi, jadi mendukung eduwisata kopi juga,” kata Ujang.

Panel Surya

Dalam proyek tersebut, Prof. Made memasang panel surya di kawasan perkemahan Baru Beureum. Salah satu tim Fariz Muhammad Rizwan menuturkan, hasil pemetaan awal menunjukkan bahwa daerah ini belum tersentuh aliran listrik. Produksi listrik untuk kebutuhan rumah tangga masih mengandalkan tenaga diesel dan aki mobil.

Padahal, jumlah pengunjung yang datang ke Baru Beureum, baik untuk mendaki, berkemah, atau sekadar bermain cukup tinggi. Karena itu, tim mencoba mengembangkan teknologi listrik ramah lingkungan yang bisa digunakan untuk “menerangi” Baru Beureum.

Awalnya, kata Fariz, tim melirik potensi energi air. Namun, untuk melakukan pemasangan pembangkit listrik tenaga air merupakan upaya yang tidak mudah. Selain memerlukan luasan lahan besar, berbiaya mahal, tim merasa kesulitan untuk membawa alat-alat pembangkit mengingat jalur ke Baru Beureum cukup terjal dan berbatu.

Kemungkinan yang paling optimal saat ini adalah energi surya, meskipun tidak terlalu efektif jika dipasang di kawasan perbukitan. Sebabnya, fungsi panel surya sangat dipengaruhi oleh suhu sekitar. Berdasarkan hasil perhitungan, kapasitas listrik yang bisa dihasilkan oleh satu panel surya di Baru Beureum dalam kondisi minimal adalah mampu menghidupkan satu lampu selama 6-14 jam.

“Kalau dalam kondisi optimal, satu panel bisa digunakan hingga empat lampu kurang lebih 12 jam,” kata Fariz.

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat menjadi kunci penting dalam inisiasi desa wisata ini. Untuk itu, Kasno dan tim telah mendorong partisipasi masyarakat melalui pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).

“Menurut kami yang penting adalah membangun social engineering-nya. Untuk itu di tahun pertama kami dorong membentuk komunitas manusianya dengan membentuk pokdarwis. Kami dengan pokdarwis rutin mengadakan pertemuan untuk membahas progres dan rencana ke depan seperti apa,” kata Kasno.

Ujang sendiri juga membentuk komunitas Minasari Barokah. Komunitas ini berisi warga yang selama ini bergelut memelihara ikan yang kemudian digerakkan untuk menjadi pembudi daya ikan hias. Komunitas ini menjadi demostration plot yang ke depan bisa dioptimalkan untuk mendukung terwujudnya kampung wisata ikan hias.

Dengan adanya pokdarwis, secara legal inisiasi Desa Wisata Sindangsari bisa diajukan lebih lanjut ke Kementerian Pariwisata. “Dengan adanya komunitas ini sehingga betul-betul ada semacam sistem yang terbentuk oleh masyarakat itu sendiri, kemudian keberadaan pokdarwis akan mendorong aktivitas Desa Sindangsari menuju aktivitas pariwisata,” imbuhnya.

Beruntung, masyarakat Sindangsari merespons baik inisiasi dosen Unpad tersebut. Wakil Ketua Pokdarwis Sindangsari Tantan Nuryadin mengatakan, inisiasi ini diharapkan dapat terwujud dengan baik. “Harapannya ini terwujud, kita bisa mengembangkan ini untuk pendapatan masyarakat juga,” kata Tantan.*

Share this: