Kemenkes Tetapkan KLB Campak, Pakar Unpad Ungkap Penyebabnya

Dr. Djatnika Setiabudi, dr.,SpA(K).,MCTM.(Trop.Ped).*

[Kanal Media Unpad] Kementerian Kesehatan menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atas tingginya penularan campak di Indonesia. Hingga Desember 2022, tercatat 31 provinsi melaporkan adanya kasus penularan campak.

Menurut Kepala Staf Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Dr. Djatnika Setiabudi, dr.,SpA(K).,MCTM.(Trop.Ped), munculnya wabah campak salah satunya dipengaruhi pandemi Covid-19.

Pada masa tersebut, khususnya di awal pandemi melanda, terjadi penurunan cakupan imunisasi campak kepada anak-anak. Penurunan ini akhirnya menurunkan kekebalan komunitas (herd immunity) di masyarakat.

“Karena pandemi Covid-19 awal-awal, maka sekarang ‘panennya’,” kata Djatnika kepada Kanal Media Unpad.

Berbeda dengan masa sebelum pandemi, penyebaran penyakit campak sudah dapat dikendalikan. Artinya, kasus penularan campak hanya bersifat sporadis, tidak berbentuk wabah atau KLB.

Di sisi lain, meningkatnya penularan campak juga tidak lepas dari masih banyaknya kantong-kantong yang menolak vaksin. “Harusnya KLB ini juga dilihat juga populasinya yang mana. Apakah di wilayah yang termasuk banyak imunisasinya ataukah yang tidak,” jelasnya.

Lebih lanjut Djatnika mengatakan, campak merupakan salah satu penyakit yang sangat menular. Jika seseorang tidak memiliki kekebalan yang baik, kemungkinan terinfeksi campak sebesar 90 persen. Karena sangat menular, maka kekebalan komunitas yang dibutuhkan juga tinggi.

Komplikasi

Djatnika mengatakan, campak tidak hanya menyerang pada anak-anak. Jika remaja ataupun orang dewasa yang kekebalannya rendah, dia berisiko terkena infeksi. “Jika seseorang tidak divaksin campak, kemungkinan tertular campak makin besar,” imbuhnya.

Kemungkinan tertular campak juga bisa terjadi kepada anak yang belum lengkap vaksinasinya. Hanya saja, dampak dari penyakitnya tidak terlalu berat karena sudah memiliki tingkat kekebalan yang sedikit. Dampak berat dari campak akan dirasakan oleh mereka yang belum sama sekali diimunisasi, yaitu rentan mengalami komplikasi penyakit lain seperti pneumonia, radang otak, hingga gizi buruk.

Untuk itu, pemberian vaksin campak dinilai penting untuk meningkatkan kembali kekebalan komunitas. Kemenkes sendiri telah menetapkan jadwal imunisasi vaksin campak lengkap, yaitu pada usia 9 bulan, 18 bulan, serta ketika anak menginjak kelas 1 SD.

“Tidak ada istilah terlambat kalau untuk imunisasi itu. Bagi yang belum mendapatkan vaksin, segeralah divaksin. Diimunisasi saja, nanti akan diberikan jadwal ulangan,” kata Djatnika.

Segera Ditangani

Seseorang yang tertular campak akan mengalami fase gejala awal, seperti demam tinggi, batuk pilek, hingga mata merah. Fase ini merupakan fase yang paling mudah menularkan. Selain itu, penularan campak dilakukan tidak melalui sentuhan kulit, tetapi melalui percikan droplet di udara.

Untuk itu, Djatnika mendorong jika sudah menunjukkan gejala terkena campak, segeralah untuk berobat ke fasilitas kesehatan. Anak yang terkena campak sebaiknya diam di rumah, sehingga tidak menularkan ke orang lain. Jika anak yang sakit sudah bisa menggunakan masker, maka sebaiknya menggunakan masker.

“Yang sehat juga perlu memakai masker, karena penularan campak melalui pernapasan,” jelasnya.

Pemerintah, lanjut Djatnika, dalam menghadapi KLB ini perlu menggiatkan surveilans epidemiologinya. Pemerintah harus dapat menemukan populasi penularan virus dengan tujuan untuk melindungi mereka yang sehat atau belum terkena.

Ring immunization juga bisa dilakukan. Artinya daerah yang fokus penyakitnya dipagari dengan diberikan imunisasi massal di daerah sekelilingnya,” kata Djatnika.*

Share this: