Menilik Potensi Farmakogenomik dan Farmakogenetik untuk Peningkatan Kualitas Terapi pada Pasien

pakar unpad
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Prof. Apt. Melisa Intan Barliana, Dr.Med.Sc., menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu "Pharmacogenomics di Indonesia: Apakah Kita Siap?" yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (8/4/2023).*

Laporan oleh Anggi Kusuma Putri

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Prof. Apt. Melisa Intan Barliana, Dr.Med.Sc., mengatakan, tujuan akhir dari setiap pengobatan adalah keberhasilan dari terapi yang dilakukan. Hal ini akan menciptakan kualitas hidup yang meningkat bagi pasien.

Hal tersebut disampaikan Prof. Melisa saat menjadi narasumber dalam diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Pharmacogenomics di Indonesia: Apakah Kita Siap?” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (8/4/2023).

Untuk mencapai peningkatan kualitas hidup, ada beberapa faktor yang memengaruhi. Dalam hal ini, genetik menjadi salah stau faktor yang memengaruhi keberhasilan terapi sebanyak 20 – 90 persen.

Prof. Melisa menyampaikan bahwa faktor genetik dapat mengakibatkan respons yang berbeda bagi setiap orang saat diberikan obat. Hal ini dapat dibahas melalui farmakogenetik yang mempelajari pengaruh genetik terhadap cara tubuh memproses obat di dalam tubuh.

Variasi genetik pada manusia disebabkan oleh perubahan satu basa dalam gen atau yang dinamakan juga sebagai SNPs. Meskipun hanya satu basa yang berubah, hal ini sangat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap suatu penyakit juga mempengaruhi variasi respon terhadap terapi.

“SNPs dapat mempengaruhi karakteristik farmakokinetik maupun farmakodinamik dari suatu pengobatan,” ujar Prof. Melisa.

Di Indonesia saat ini beberapa jenis gen pada pasien kanker sudah masuk dalam “Algoritma Terapi Kanker Paru” Komite Penanggulangan Kanker Nasional dari Kementrian Kesehatan. Sebelum diberikan kemoterapi, pasien akan melalui pemeriksaan gen terlebih dahulu, sehingga terapi yang diberikan lebih spesifik.

“Jadi bisa lebih efektif terapinya. Pasien pun tidak akan banyak mendapatkan atau merasakan efek samping yang luar biasa dari kemoterapi karena memang sudah di-screening dan diarahkan karakteristik pasiennya seperti apa,” jelas Prof. Melisa.

Tidak hanya itu, saat ini pemerintah Indonesia juga sudah menyadari pentingnya informasi mengenai variasi respons terapi pada setiap pasien dengan membentuk suatu konsorsium Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi).

BGSi merupakan inisiatif biomedikal terintegrasi nasional pertama yang menuju ke precision medicine. BGSi mengintegrasi database genomics di seluruh Indonesia yang selanjutnya akan masuk ke dalam tata laksana berbagai penyakit sesuai dengan karakteristik variasi genetik pada populasi di Indonesia.

“Memang tidak bisa cepat karena populasi di Indonesia banyak, mungkin juga di dalam Indonesia sendiri ada ras-ras yang berbeda-beda karena mengingat suku bangsa kita yang banyak,” ujar Prof. Melisa.

Prof. Melisa berharap di masa datang, setiap orang dapat diberikan jenis terapi yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik genetiknya, sehingga terapi yang diberikan juga akan lebih efektif dengan efek samping yang lebih minimal.

Selain itu, Prof. Melisa juga menambahkan bahwa saat ini pengaplikasian farmakogenomik dan farmakogenetik di indonesia masih kurang karena jumlah penelitiannya yang masih minim. Oleh karena itu, hal ini menjadi potensi yang cukup besar untuk melakukan penelitian farmakogenomik dan farmakogenetik di Indonesia.

“Karena memang baru sedikit penelitian-penelitian yang dilakukan, kemudian juga gen-gen yang dimasukkan ke dalam tata laksana penyakit juga masih sedikit,” ujar Prof. Melisa. (arm)*

Share this: