[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ir. Mohamad Djali, M.S., mengatakan bahwa kulit biji kakao memiliki potensi menjanjikan sebagai pangan fungsional. Hal ini terlihat dari jumlah ketersediaan serta kandungan yang dimiliki.
Namun, pemanfaatan kulit biji kakao saat ini baru sebatas riset, terutama riset yang dilakukan di perguruan tinggi. Aplikasi penggunaan di masyarakat sebagai bahan pangan pun belum ada.
“Riset ke arah eksplorasi lanjut cacao shell dengan fokus perannya sebagai bahan makan fungsional dan keamanan pangannya perlu terus ditingkatkan,” ujar Prof. Djali dalam diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Profil Cacao Shell sebagai Bahan Pangan Fungsional” yang diselenggarakan Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu (24/7/2023).
Prof. Djali menjelaskan bahwa kulit biji kakao mengandung senyawa bioaktif yang tidak berbeda jauh dengan yang terkandung dalam keping biji. Dengan senyawa polifenol yang masih signifikan dan tingginya komponen serat, kulit biji kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan fungsional.
Menurut Prof. Djali, belum adanya pemanfataan biji kulit kakao untuk bahan pangan masyarakat karena riset yang dilakukan belum tajam. Riset lebih banyak mengarah langsung ke pemanfaatan bahan pangan atau non-pangan.
“Seharusnya di sini ada kajian-kajian awal dulu. Jadi sebelum melangkah ke aplikasi bahan pangan harus dikaji dulu sebetulnya bagaimana profilnya, baik profil kimia juga bioaktifnya, maupun profil lainnya,” kata Prof. Djali.
Diungkapkan Prof. Djali, kulit biji kakao umumnya menjadi limbah yang tidak termanfaatkan. Sebagai contoh, produksi kulit biji kakao di satu industri mencapai 12,6 – 13,5 ton per tahun.
Salah satu permasalahan yang dihadapi, yaitu aspek keamanan pangan yang masih diragukan. Hal ini dikarenakan kulit biji kakao sebagai bagian terluar biji kakao berpotensi kontak langsung dengan kontaminan. Sumber kontaminan tersebut, yaitu residu pestisida, logam berat, dan jamur aspergillus.
Kontaminan tersebut akan terkonsentrasi pada kulit biji kakao terlebih jika penanganan panen dan pasca panen yang tidak tepat.
Prof. Djali mengatakan, riset kulit biji kakao sebagai bahan pangan perlu diawali dengan mengungkapkan profilnya. Hal ini dilakukan dengan menganalisa komponen proksimat (karbohidrat, protein, lemak, kadar abu, dsb) dan komponen bioaktif (polifenol, theobromine, kafein, dan serat), serta memperhatikan keamanan pangannya.
“Dengan mengetahui profilnya, ini bisa ditentukan mengolahnya seperti apa ke depannya,” ujar Prof. Djali.
Selanjutnya, riset juga perlu melakukan karakterisasi fungsional produk antara, yang umumnya dibuat dalam bentuk tepung. Karakterisasi tersebut dilihat dari sifat amilografi dan fungsionalnya.
“Pengujian sifat amilografi dan sifat fungsional ini akan menentukkan jenis produk pangan apa yang kira-kira bisa dibuat,” katanya.
Lebih lanjut Prof. Djali menjelaskan, profil kimia kulit biji kakao bisa berbeda di setiap industri kakao. Hal ini disebabkan di setiap pabrik dan perkebunan dapat berbeda jenis buah yang diolahnya. Selain itu, cara pengolahannya pun berbeda. Dengan demikian, perlu ada pemetaan profil dari kulit biji kakao. Dari data profil tersebut, dapat ditentukan arah aplikasinya.
“Oleh karena adanya perbedaan dalam bahan baku dan pengolahan, maka karakteristik kimia dan keamanan pangan juga akan berbeda,” kata Prof. Djali. (arm)*