[Kanal Media Unpad] Masalah kesehatan pernapasan menjadi isu yang mendapat perhatian global, terutama pascapandemi Covid-19. Selain tuberkulosis, asma menjadi penyakit saluran pernapasan (respiratori) yang juga memerlukan perhatian khusus. Namun, di Indonesia, asma belum menjadi perhatian serius.
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat global mengenai asma, unit penelitian global yang menaruh perhatian terhadap kajian kesehatan respiratori “RESPIRE” melakukan kolaborasi dengan beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, kolaborasi tersebut dikoordinatori oleh Universitas Padjadjaran melalui Fakultas Kedokteran.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Unpad yang juga Lead Representative RESPIRE Indonesia Prof. dr. Cissy B. Kartasasmita, Sp.A(K), PhD, mengatakan, penyakit asma di Indonesia belum menjadi perhatian serius. Selain itu, penanganan penyakit ini juga dinilai masih salah. Banyak orang yang cenderung lebih takut terhadap Tb dibandingkan asma.
“Padahal asma sama Tb sama beratnya dan bisa menyebabkan kematian,” tutur Prof. Cissy saat menggelar jumpa pers dalam acara “RESPIRE Annual Scientific Meeting 2023 External Showcase Programme” di Hotel Mercure Bandung City Centre, Bandung, Rabu (27/9/2023).
Untuk itu, RESPIRE yang berpusat di University of Edinburgh, Inggris, tersebut berkolaborasi dengan akademisi dari berbagai negara di Asia, yaitu Bangladesh, India, Malaysia, dan Pakistan sejak 2016 untuk melakukan kajian mengenai kesehatan respiratori.
Kolaborasi yang dibiayai National Institute for Health and Care Research dari Inggris juga menggandeng tiga negara lainnya, yaitu Indonesia, Bhutan, dan Sri Lanka. Di Indonesia, Unpad menjadi motor pelaksana kolaborasi internasional tersebut.
Fokus di Remaja
Prof. Cissy memaparkan, kelompok remaja menjadi fokus kelompok yang akan dilakukan pembinaan dan pencegahan gangguan kesehatan pernapasan. Ini disebabkan, anak merupakan kelompok yang rentan terkena asma. Jika dibiarkan, penyakit ini akan tetap ada hingga dewasa dan sulit disembuhkan.
Tim juga melihat, dengan memberikan pendidikan pada remaja diharapkan akan mendorong mereka untuk mengubah pola hidup, salah satunya adalah menjauhi rokok. Rokok sendiri, kata Prof. Cissy, merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan seseorang terkena penyakit pernapasan.
“Mudah-mudahan dengan riset ini, kita memproteksi anak-anak kita supaya jangan melakukan aktivitas merokok yang membahayakan diri sendiri,” ujarnya.
Upaya yang dilakukan adalah mengetahui sejauh mana orang tua, komunitas, hingga layanan kesehatan mengetahui upaya preventif terhadap asma. Data ini kemudian dievaluasi untuk selanjutnya dibuatkan pedoman pencegahan asma. Pedoman ini kemudian akan dicoba untuk diimplementasikan di lima negara.
“Kita cari dulu anak-anak yang menderita asma, kita didik dan lihat ke depan hingga 2026 dengan pedoman ini apakah asmanya menurun. Jika hasilnya baik ini akan menjadi rekomendasi bagi pemerintah,” jelasnya.
Tim RESPIRE sendiri telah melakukan kunjungan ke sekolah dan menetapkan dua sekolah sebagai subyek penelitian, yaitu SMPN 1 dan SMPN 9 Kota Bandung.
Representatif RESPIRE Bangladesh Prof. Aziz Sheikh yang ikut melakukan kunjungan ke dua sekolah tersebut mengatakan, sangat penting menciptakan lingkungan yang mendukung kelompok remaja untuk berperilaku sehat. Selain menyiapkan kurikulum pendidikan yang mendukung, peran orang tua juga sangat penting.
Senada dengan Prof. Aziz, Representatif RESPIRE Malaysia Prof. Ee Ming Khoo juga menekankan, regulasi sekolah dalam mencegah anak merokok hingga mendukung lingkungan yang bersih dan bebas polusi sangat dibutuhkan.
“Sekolah bisa untuk memulai langkah untuk mendukung Indonesia menciptakan lingkungan yang bersih,” kata Prof. Ming Khoo.
Dengan demikian, tim mengharapkan remaja dapat menjadi pemengaruh positif bagi keluarga maupun komunitasnya. “Mereka akan pulang dan bertemu orang tuanya dan bisa bilang ‘Jangan Merokok’,” ujarnya.
Selain faktor gaya hidup, tingginya asma juga dipengaruhi kualitas udara yang buruk. Polusi udara hingga sampah dinilai menyumbang peningkatan gangguan pernapasan.
Prof. Ming Khoo mengatakan, permasalahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara di Asia dan Australia pun dihadapkan pada permasalahan ini. Karena itu, perlu ada sinergi antarnegara dalam memperkuat regulasi untuk menurunkan polusi, salah satunya kebijakan dalam pembukaan hutan.
Wakil Dekan Bidang Pembelajaran, Kemahasiswaan, dan Riset FK Unpad Dr. Ruswana Anwar, dr., Sp.OG., Subsp. FER., M.Kes., menuturkan,, kolaborasi riset ini menjadi upaya untuk memperkuat promosi pelayanan kesehatan di komunitas.
Selain itu, kolaborasi ini juga berperan meningkatkan keterampilan mahasiswa Kedokteran, mulai dari tingkat mahasiswa dasar. “Mahasiswa akan bergabung dengan peneliti, dokter, dan dokter spesialis untuk (bersama) mendapatkan strategi yang baik dalam melakukan pencegahan, deteksi, hingga pengobatan,” kata Ruswana.*