Belajar dari Tukang Service Jam

Hari minggu seperti biasa saya seringkali mengantar istri beserta keluarga jalan jalan, baik untuk belanja kebutuhan pokok mingguan maupun sekedar rekreasi. Pada suatu kesempatan saya berjalan dipinggiran pusat pertokoan di Bandung Timur untuk melihat lihat sepatu olah raga, di pinggiran sudut toko ada seorang tukang service jam. Kemudian saya tergelitik untuk sekedar ingin tahu apa dan bagaimana sehari-hari beliau menggeluti bidang usahanya itu.

Saya awali pembicaraan dengan bertanya tentang pekerjaannya, awal mula bisa memperbaiki jam tangan hingga asal tinggal dari mana. Dari pembicaraan beliau menjawab saya Maman (bukan nama sebenarnya) katanya, asal dari Garut, saya disini sudah lebih dari 15 tahun bahkan paman dan sepupunya pun turut ikut berprofesi sama sebagai tukang reparasi jam tangan. Sambil memperbaiki jam tangan milik konsumen yang sedang beliau layani saya bertanya beberapa hal diantaranya : Apakah usaha yang dilakukan Kang Maman itu setiap hari ada konsumennya?, kemudian apakah usaha nya perlu sekolah khusus apa tidak? Lalu apa sih resep usahanya saat ini hingga bisa bertahan lebih dari 15 tahun.

Jawaban yang keluar dari hati nuraninya Kang Maman adalah sebagai berikut :

Pertama, Cep katanya, “Setiap hari ada saja konsumen yang minta dilayani yah, jelek jeleknya 2 atau 3 orang mah ada, jadi selama saya menggeluti usaha ini Alhamdulillah ada saja rejeki yang saya dapatkan, apalagi marema mau dekat hari-hari besar”.

Kedua, untuk urusan keahlian , Kang Maman mengatakan memang keahliannya tidak melalui kursus namun turun temurun karena magang dari ayahnya, paman dan saudara saudaranya, artinya proses alih generasi ada di dalamnya. Kang Maman mengatakan di Jepang atau Swiss untuk urusan per arlojian, itu ada sekolahnya secara khusus bahkan sertifikat atau ijasahnya sangat berarti dalam menggeluti profesi sebagai tukang service ataupun mau berkerja di industri. Nah untuk di Indonesia, beliau mengatakan hal ini tidak ada. Jadi tidak tahu bagaimana perkembangan profesi ini dan berapa banyak juga tidak tahu, yang jelas usaha ini bisa menghidupi keluarga katanya. Kata kang Maman, Cep kalau untuk akang mah sanes ageung alit (besar kecilnya) penghasilan tapi barokah henteu (berkah tidak) buat keluarga, tah eta langkung penting (nah itu lebih penting).

Kemudian yang ke tiga, resep usaha yang Kang Maman berikan adalah tetap saja optimis dalam berusaha katanya “rejeki mah sudah ada yang ngatur cep… jadi percaya sajah sama Alloh, moal kamana rejeki mah… Lalu jangan lupa jangan bikin konsumen kecewa beri layanan yang bagus, senyuman atau sapaan yang menggembirakan pelanggan, karena kesan apa yang kita berikan kepada konsumen akan tertanam dalam pikirannya dan bisa berpengaruh pada rejeki selanjutnya. Kalau kita baik kepada pelanggan maka pelanggan akan ingat kebaikan kita dan sekaligus akan menjadi corong bagi pemasaran layanan kita selanjutnya”.   Cep, “tong hilap (jangan lupa katanya), ari Alloh mah maha kaya, urusan rejeki mah sudah dijamin oleh Alloh, mung ari soal amal kasaean (amal kebaikan) sanaos gumujeng (meskipun tersenyum) moal dijamin ku Alloh ,…. eta mah kedah ti nyalira (itu harus dari diri sendiri), jadi kalau mau manjang usahana (kalau mau usahanya panjang) amalna oge kedah sae saurna ka pelanggan (amalnya juga harus baik ke pelanggan)”.

Obrolan singkat rupanya harus berakhir karena ibunya anak-anak sudah selesai beli sembakonya dan segera mengajak untuk berangkat pulang. Dalam perjalanan pulang obrolan singkat itu masih membekas dipikiran tentang beberapa hal penting menyangkut kehidupan seseorang. Informasi penting apa yang dapat diperoleh dari bincang singkat dengan Kang Maman tukang service arloji tersebut ? Ada beberapa hal mendasar di antaranya: (1) Optimis dalam berkarya, (2) selalu memberikan layanan yang terbaik kepada pelanggan, (3) Memaknai rejeki sebagai pemberian dari Tuhan tidak memandang besar atau kecil namun keberkahannya. Analogi tersebut bisa diterapkan di lingkungan kampus untuk Dosen dan Tendik, sudahkah kita memberikan layanan yang terbaik untuk mahasiswa kita dengan kinerja yang sebaik mungkin ? sudahkah kita berikan senyuman dan kenyamanan kepada mereka sehingga mereka merasakan layanan kita yang terbaik untuk mereka ? ataukah umpatan atau luapan kemarahan kepada mereka manakala mereka minta waktu kepada kita. Memang penghasilan bisa saja berbeda beda, namun belajar dari tukang service jam tersebut, nampaknya yang terbaik dari sebuah usaha adalah keberkahannya sehingga dapat menjadi amal sholeh yang makbul dikabul oleh Allah SWT. Semoga apa yang tersaji memberi inspirasi berprestasi dan memberi manfaat yang banyak bagi kita semua. 1 Maret 2015. (RKT)