[Unpad.ac.id, 2/05/2016] Saat ini, masih ada perbedaan pemahaman antara praktisi dan akademisi mengenai kepemilikan kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam praktiknya, kekayaan BUMN masih dipandang sebagai kekayaan negara. Padahal BUMN merupakan PT Persero yang memiliki kekayaan terpisah dari negara.

Dosen Fakultas Hukum Unpad, Dr. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., CN. mengungkapkan bahwa dalam penelitian yang ia lakukan tahun 2015 lalu ke sejumlah pengadilan niaga di lima kota di Indonesia, diketahui masih banyak praktisi hukum yang menafsirkan bahwa kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara.
“Hakim-hakim di pengadilan niaga yang saya teliti, hampir sama mengatakan bahwa kekayaan BUMN itu kekayaan negara,” ungkap Dr. Isis.
Perbedaan penafsiran ini, menurut Dr. Isis, karena ada ketidakharmonisan di dalam menyikapi BUMN sebagai badan hukum yang mandiri, antara rezim hukum privat dan rezim hukum publik. Dari rezim hukum publik, ada dua Undang-undang yang mengklaim bahwa kekayaan BUMN itu termasuk kekayaan negara, yakni UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara.
“Padahal dari kacamata hukum privat, yang namanya pelaku usaha, apakah badan hukum publik atau privat, kalau melaksanakan bisnis ya dia harus tunduk kepada rezim hukum bisnis,” katanya.
Lebih lanjut Dr. Isis menjelaskan, dalam rapat kerja Mahkamah Agung, telah disepakati bahwa kekayaan BUMN bukan merupakan kekayaan negara, melainkan kekayaan sebagai PT Persero. Hal ini pun tertuang dalam surat edaran MA No. 4 tahun 2014. Namun, surat edaran ini ternyata tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para hakim.
“Buktinya, pada saat saya wawancara di tingkat pengadilan niaga, hakim-hakim yang menangani itu tetap kacamatanya itu bahwa kekayaan BUMN itu adalah kekayaan negara,” ungkapnya.
Menurut pria kelahiran Bandung, 21 Mei 1960 ini, BUMN merupakan suatu unit usaha yang profit oriented. Dengan demikian, BUMN harus dapat menjalankan perusahaan itu secara profesional. Namun yang terjadi saat ini, BUMN masih belum diberi kebebasan penuh dalam menjalankan bisnisnya secara profesional.
Manajemen BUMN masih tidak leluasa dan dibayang-bayangi rasa takut karena dianggap mengelola uang negara. Jika ia berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan sehingga mendatangkan kerugian pada perusahaan, maka ia bisa dianggap merugikan keuangan negara dan dijerat tindak pidana korupsi. Padahal bisa jadi keputusan yang dilakukan sudah berdasarkan keputusan bisnis yang profesional.
“Kalau dibayang-bayangi oleh tindakan menjalankan keuangan negara, tidak akan leluasa karena dia kebebasannya terbelenggu,” kata Dr. Isis yang mendalami bidang Hukum Perusahaan.
Dr. Isis pun mengutip pernyataan Prof. Nindyo Pramono dari Universitas Gadjah Mada, yang mengatakan bahwa Bisnis BUMN diibaratkan seekor burung yang dilepas, tetapi ekornya masih dipegang.
“Jadi tidak bisa terbang. Padahal kalau misalnya burung itu diterbangkan, dia bisa cari makan sendiri, mau menghidupi sendiri. Kalau ini jadi setengah hati,” kata Ketua Program Studi Magister Kenotariatan FH Unpad ini.
BUMN sebagai PT Persero, semestinya tunduk kepada Undang-Undang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa BUMN merupakan badan hukum yang mandiri dan memiliki kekayaan yang dipisahkan dari pemiliknya. Jika kekayaan BUMN masih diklaim sebagai kekayaan negara, maka perusahaan pun akan sulit berkembang.
“Kalau misalnya BUMN itu diberikan kebebasan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum bisnis, maka keuntungannya nanti balik lagi ke negara, karena nanti devidennya itu disetorkan untuk masuk dalam APBN,” ujarnya.
Dr. Isis pun menyarankan bahwa semestinya keputusan hukum ini berpedoman pada doktrin business judgement rule. Berdasarkan business judgement rule, disebutkan bahwa keputusan seorang direktur, sepanjang dianggap sebagai keputusan bisnis, beritikad baik, tidak ada konflik kepentingan, dan tujuannya untuk kemajuan perusahaan, maka ia dapat terlindung dari tuduhan tindak pidana.
“Jadi mestinya ia diberi kebebasan saja untuk menjalankan bisnis, dan itu dikawal oleh doktrin business judgment rule. Keputusan bisnis direktur itu, bahkan menurut doktrin, hakim pun tidak boleh menilai bahwa ini salah dan benar. Hakim pun harus meminta pendapat para ahli, benar tidak yang diputuskan oleh si direktur itu,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Biro Pembelajaran dan Kemahasiswaan Unpad ini.
Bukan berarti manajemen BUMN tidak dapat terkena tindak pidana. Dr. Isis mengatakan, BUMN masih dapat terjerat pidana. Misalnya saja, terjadi penyelewengan dana, atau tidak menyetorkan deviden untuk APBN.
“Tapi kalau menjalankan bidang usahanya, jangan dulu disentuh. Biarkan dia diberi kebebasan. Pada saat dia melakukan bisnis, terus rugi, itu kan risiko yang harus ditanggung. Tapi kalau misalnya belum apa-apa rugi lalu dianggap merugikan negara, ditangkap karena korupsi, tidak akan bebas,” ujarnya.*
Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh