Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes, “Selain Aktif di Tempat Praktik, Dokter Harus Pula Berkiprah Tingkatkan Kesehatan Masyarakat”

Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes. (Foto: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 11/01/2013] Banyak orang yang mengira bahwa menjadi seorang dokter gigi hanyalah berurusan dengan kegiatan merawat dan mengobati pasien di tempat praktik. Padahal lebih dari itu, dokter gigi juga harus turut berkiprah di masyarakat guna meningkatkan kesehatan gigi dan mulut masyarakat. Hal inilah yang menjadi perhatian staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Unpad, Dr. Sri Susilawati, Drg., M.Kes.

Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes. (Foto: Tedi Yusup)*

“Saya ingin kewajiban untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut masyarakat seperti yang tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia bisa dijalankan dengan lebih baik oleh profesi kedokteran gigi. Jadi, selain merawat pasien di tempat praktik, dokter gigi juga turut memikirkan kesehatan gigi dan mulut masyarakat, minimal di sekitar tempat praktik atau di lingkungan tempat tinggalnya, seperti turut membina Posyandu, PAUD atau UKGS (Usaha Kesehatan Gigi Sekolah ),” tutur drg. Susi.

Walaupun masih belum optimal dalam menurunkan tingginya prevalensi penyakit gigi dan mulut, namun drg. Susi menilai bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut masyarakat di Indonesia kini sudah lebih inovatif. Salah satu contohnya adalah dengan akan dimulainya implementasi suatu program UKGS Inovatif yang mengintegrasikan kegiatan sikat gigi setiap hari dengan program cuci tangan dan pemberian obat cacing pada anak sekolah . Di negara Filipina, program yang mengusung pemberdayaan komunitas sekolah tersebut dikenal dengan nama Fit For School , dan berhasil menurunkan tingginya prevalensi penyakit karies gigi pada anak sekolah.

Disamping itu, salah satu hal yang juga membuat kesehatan gigi dan mulut masyarakat masih belum optimal adalah dikarenakan masih kurangnya kesadaran individu terhadap kesehatan gigi. “Kesehatan gigi bukan dianggap sebagai sesuatu yang penting. Mereka masih mengabaikan pemeliharaan kesehatan gigi. Kalau sakit, baru ke dokter gigi,” tuturnya.

Perempuan kelahiran Bandung, 27 Januari 1971 ini menuturkan bahwa walaupun mayoritas masyarakat Indonesia sudah menyikat gigi, namun yang menyikat gigi dengan teknik dan waktu yang tepat berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 hanya sebesar 7,3 % . Selain itu, masih sedikit orang yang rutin ke dokter gigi untuk mencegah terjadinya penyakit gigi dan mulut. Mereka berkunjung ke dokter gigi hanya ketika sudah merasakan sakit yang tak tertahankan.

Selain untuk meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut, drg. Susi mengungkapkan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah juga untuk meningkatkan kualitas hidup. Untuk itulah drg. Susi membuat alat ukur yang menggambarkan hubungan antara kesehatan gigi dan mulut dengan kualitas hidup seseorang, atau disebut dengan Oral Health – Related Quality of Life (OHRQoL – Mod 23) Index.

“Saya mencoba memodifikasi Oral Health Impact Profile Index yang biasa digunakan para peneliti di dunia untuk mengukur OHRQoL, namun disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat di Indonesia sehingga saya menghasilkan alat ukur guna mengukur kualitas hidup terkait kesehatan gigi dan mulut dalam 4 dimensi, yaitu dimens i fungsi , dimensi nyeri, dimensi psikologis serta dimensi sosial,” jelas drg. Susi yang kini menjabat sebagai Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat (IKGM) FKG Unpad ini.

Melalui alat ukur tersebut, drg. Susi sudah bisa mengukur tingkat kualitas hidup dalam aspek kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat usia 35-44 tahun di lima kabupaten/kota di Jawa Barat, yaitu Subang, Tasikmalaya, Cirebon, Cianjur, dan Kota Bandung. Walaupun setiap kabupaten/kota menunjukkan hasil yang berbeda, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi nyeri merupakan faktor yang paling mengganggu kualitas hidup seseorang.

“Kualitas hidup dalam aspek kesehatan gigi dan mulut sudah mulai baik kalau orang sudah menyadari arti kesehatan gigi sebagai sesuatu yang bernilai dalam kehidupannya,” tuturnya. Di Indonesia, masih belum banyak yang mengkaji kualitas hidup terkait kesehatan gigi dan mulut dengan menggunakan alat ukur kualitas hidup yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Saat ini, model Indeks OHRQoL-Mod 23 hasil penelitian drg. Susi ini sedang dalam proses paten.

Menurut drg. Susi, untuk menyelesaikan masalah kesehatan gigi dan mulut di masyarakat itu, seluruh stakeholder yang terkait dengan kesehatan gigi seperti institusi pelayanan kesehatan, institusi pendidikan, organisasi profesi, dan swasta perlu saling bekerja sama dan bersinergi melakukan upaya pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan gigi dan mulut.

“Kesulitan yang dihadapi dalam melakukan pemberdayaan tersebut adalah adanya mindset bahwa kesehatan gigi dan mulut itu kurang penting dan hanya menjadi tanggung jawab profesi dokter gigi, padahal kesehatan gigi dan mulut adalah tanggung jawab bersama.” tutur dosen yang pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Pelayanan Masyarakat LPPM Unpad (2001-2008) ini.

Saat ini, ia bersama Kementerian Kesehatan , Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Bagian IKGM FKG Unpad dan GIZ sedang melakukan penelitian untuk implementasi program Fit For School di Indonesia. Selain di Indonesia, penelitian ini juga dilakukan secara serentak di Laos dan Kamboja. Dalam International Collaborative Research ini, drg. Susi yang bertindak sebagai salah satu co-investigator melakukan riset mengenai pengaruh program Fit for School terhadap kualitas hidup anak.

Di luar aktivitasnya sebagai pengajar dan peneliti, drg. Susi kini juga sedang mengembangkan klinik yang dikelolanya sesuai dengan master plan yang sudah disusunnya. Ia berharap para pengguna yang mendapat pelayanan di kliniknya mendapat layanan kesehatan yang menyeluruh meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif guna meningkatkan kualitas hidupnya.

“Orientasi dokter yang lebihmenekankan upaya kuratif kini telah bergeser seiring dengan ditemukannya berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang preventif . Hal ini semakin memudahkan saya melakukan konseling guna mencegah terjadinya penyakit gigi dan mulut,” tuturnya. *

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh *

Share this: