[Unpad.ac.id, 6/04/2016] Keberadaan mesin pertanian hasil produksi dalam negeri masih belum banyak berkembang. Dalam hal teknik pertanian, Indonesia memang masih lebih sebagai “pemakai” mesin pertanian, bukan “pembuat”.

“Produk buatan Indonesia memang ada dan dipakai, tetapi terbatas pada yang relatif kecil dan sederhana. Untuk yang canggih hampir semuanya produk impor. Hal ini berlaku misalnya pada traktor tangan untuk membajak sawah. Yang buatan lokal kandungan teknologinya lebih rendah dan umumnya kurang nyaman untuk digunakan,” kata Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FTIP) Unpad Ir. Mimin Muhaemin, M.Eng., Ph.D.
Menurutnya, bukan berarti tidak ada yang mampu membuat atau berinovasi, namun masih minimnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat terhadap hasil produksi dalam negeri menjadi salah satu permasalahannya.
Saat ini kita lebih mudah untuk membeli traktor, mesin pemanen, atau mesin pertanian lainnya dari luar negeri ketimbang memproduksi atau mengembangkannya sendiri. Hal tersebut juga didasari akan budaya masyarakat yang lebih mengapresiasi hasil produksi luar negeri, dan kurang adanya budaya “memproduksi”.
Padahal untuk produksi pertanian yang optimal, semestinya alat atau mesin pertaniannya pun disesuaikan dengan kondisi pertanian di dalam negeri. Alat pertanian yang digunakan adalah khas dari Indonesia.
“Harapannya, mesin itu dikembangkan oleh kita sendiri, karena yang dari luar itu belum tentu cocok,” kata Mimin. Ketidakcocokan yang dimaksud seperti perbedaan iklim, ukuran tubuh yang menggunakan, jenis tanaman yang ditanam, hingga kondisi lahan.
“Sebenarnya kalau diprogramkan dari awal untuk mengembangkan yang khas kita, yang cocok dengan lahan kita, itu sebenarnya mampu,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Dekan FTIP Unpad ini.
Mimin menyebutkan, meski saat ini ada program pemerintah dalam hal peningkatan produksi mesin pertanian dalam negeri, tetapi implementasinya masih kurang. Seringkali, prioritas program pun tidak berkelanjutan seiring dengan adanya pergantian pemangku kebijakan.
Menurut pria kelahiran Ciamis, 21 Juli 1962 ini, hasil yang besar itu dapat dicapai dengan waktu yang lama dengan orang yang banyak (tim). Dalam mengembangkan mesin pertanian pun, perlu waktu yang tidak sebentar.
“Di Indonesia kalau diprogramkan untuk pengembangan peralatan pertanian yang canggih, mungkin 10 tahun misalnya, kan ada pusat penelitiannya, saya yakin bisa,” tutur Mimin.

Selain itu, subsidi bagi petani kecil pun masih terbilang sedikit sehingga belum banyak yang dapat mengoptimalkan mesin pertanian untuk mempermudah atau mengefisienkan kinerja mereka. Hal tersebut disebabkan harga produk pertanian yang mayoritas rendah, sehingga keuntungan petani pun kecil. Akibatnya, daya beli petani juga kecil. Untuk membeli traktor misalnya, sangat sulit bagi mereka.
Selain itu, baik dari pemerintah maupun swasta pun masih belum banyak yang mau mengeluarkan dana besar untuk penelitian. Padahal untuk melakukan penelitian dalam membuat satu alat pertanian membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Hal ini juga yang membuat hasil penelitian terkait mesin pertanian memiliki harga yang tidak murah.
Mimin mengakui, saat ini ada banyak produk penelitian terkait mesin pertanian baik itu dari lembaga penelitian maupun perguruan tinggi, namun tidak berkembang di pasar karena tidak didukung dengan daya beli petani atau perusahaan swasta pertanian. Kalaupun ada perusahaan yang memiliki daya beli tinggi, lebih memilih untuk membeli produk luar negeri ketimbang membeli produk dalam negeri atau berinvestasi untuk penelitian.
“Budaya kita selama ini memang bangga kalau bisa membeli, bukan bangga kalau bisa membuat. Berbeda dengan Jepang. Di sana sejak kecil sudah ditanamkan bahwa kalau tidak bisa membuat produk sendiri ya tidak bisa survive. Di kita kan enggak. Saya ingat ketika belajar membaca, kalimat yang diajarkannya oleh guru adalah ‘Ibu membeli …’ atau ‘Badu membeli buku’,” kata lulusan Institute of Agricultural and Forest Engineering, University of Tsukuba Jepang ini.
Dengan demikian, Mimin pun berharap bahwa dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, secara bertahap akan ada perubahan sikap dalam hal tersebut.
Hingga saat ini, dari berbagai kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan, sudah banyak mesin pertanian yang Mimin buat. Salah satunya adalah Sasak Apung Padjadjaran yang mendapat Anugerah Inovasi dan Prakarsa Jawa Barat 2014 kategori inovasi dengan tema “Infrastruktur”.
Sasak Apung Padjadjaran merupakan alat transportasi sarana produksi dan hasil pertanian berupa smart cable car yang menjadi salah satu kegiatan pengabdian kepada masyarakat Mimin bersama tim dari FTIP Unpad. Alat ini dipasang di kampung Gandok, Desa Suntenjaya, Lembang sejak April 2014 lalu. Tujuan dari alat ini, yaitu untuk memudahkan para petani disana dalam mengangkut hasil tani yang biasanya mereka tempuh dengan jarak sekira 300 meter dengan kondisi jalan tanah yang berbukit.
Kepala Laboratorium Alat dan Mesin Pertanian FTIP Unpad ini mengungkapkan, banyak yang tidak menyangka bahwa seorang yang berlatar ilmu teknik pertanian dapat membuat peralatan seperti itu. Padahal, Mimin dan tim bukan hanya merakit, tetapi juga merancang mekanisme, menghitung kekuatan bahan tiap komponen, membuat, hingga melakukan uji kekuatannya.
Menurut Mimin, masih banyak yang meragukan kemampuan seorang ahli teknik pertanian dalam membuat mesin. Ia bahkan menyebutkan ada beberapa kelebihan tersendiri jika yang membuat alat memiliki latar belakang teknik pertanian (bukan teknik mesin), karena akan lebih menguasai sifat-sifat tanaman dan lahan, disamping juga paham mengenai teknik pembuatan mesin.
Selain Sasak Apung Padjadjaran, mesin lain yang dibuat bersama tim dosen dan teknisi di Laboratorium Alat dan Mesin Pertanian, adalah mesin grading tomat, mesin pengupas nanas, mesin pencabut bulu unggas otomatis, mesin penjepit tubuh ayam, mobil listrik pengangkut sampah, dan masih banyak lagi.*
Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh