Teliti Hubungan Kelangkaan Air dengan Kekerasan Berbasis Gender, Binahayati Rusyidi, PhD, Raih Hibah dari British Academy

Laporan oleh Arif Maulana

kekerasan berbasis gender
Binahayati Rusyidi, MSW, PhD. (Foto: Dadan Triawan)*

[unpad.ac.id, 25/1/2021] Kelangkaan air menjadi isu penting yang melanda sejumlah wilayah di dunia. Isu kelangkaan air tidak hanya berdampak pada munculnya masalah kesehatan atau kerawanan pangan saja. Isu ini diprediksi turut merambah pada meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender.

Walakin, fenomena ini belum banyak terungkap. Masih minim ditemukan riset yang mengkaji hubungan kelangkaan air dengan kekerasan terhadap kaum perempuan. Padahal, perempuan secara alami hidupnya sangat dekat dengan air. Begitu air sangat sulit ditemui, perempuan menjadi sosok yang paling terdampak dan rentan mengalami kekerasan berbasis gender.

Hal ini menggugah Dosen Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran Binahayati Rusyidi, MSW, PhD, melakukan riset mengenai hubungan kelangkaan air dengan kekerasan terhadap perempuan.

Bersama tim peneliti lintas negara dan keilmuan, antara lain Stroma Cole PhD dari The University of The West England/ Westminster University, Inggris, Gabriela Salmon, PhD, dari Pontificia Universidad Catolica del Peru, Peru, dan Paula Tallman, Ph.D. dari University of Massachusetts Boston, AS, penelitian ini berhasil memperoleh hibah kompetisi International Interdisciplinary Research Grant dari British Academy, Inggris.

“Kita memandang dengan semakin meluasnya isu kelangkaan air, perempuan yang akan banyak terdampak, sehingga kita memandang perlu untuk diteliti,” ujar dosen yang akrab disapa Titi ini saat diwawancari Kantor Komunikasi Publik Unpad di ruang kerjanya.

Titi menjelaskan, secara sosial, peran gender banyak mendekatkan perempuan dengan air. Di antaranya mengurus rumah tangga, mengurus anak, hingga mengurus kebutuhan reproduktifnya. Tidak hanya itu, di berbagai budaya, kaum perempuan memiliki tugas untuk mengumpulkan air sebagai refleksi dari perannya sebagai ibu dan istri yang mengurus rumah tangga.

Seandainya air langka didapat, sedangkan tanggung jawab mendapatkan air dibebankan kepada perempuan, secara perlahan akan memicu konflik. Mau tidak mau, perempuan didorong untuk mencari air di lokasi yang jauh dari rumah, atau sulit untuk dituju. Selain itu, belum tentu lokasi untuk mendapatkan air tersebut merupakan wilayah yang aman.

Banyak laporan, lanjut Titi, yang menunjukkan perempuan rentan mengalami kekerasan berbasis gender saat mengambil air di wilayah pencarian. Tidak hanya kekerasan fisik, kekerasan yang diterima juga di antaranya berupa psikologis, emosional, hingga seksual.

“(Kekerasan) ini tidak hanya terjadi di lingkup rumah tangga atau oleh suami, tetapi bisa juga terjadi di komunitas,” ujar Titi.

Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan juga dimungkinkan “diabaikan” oleh penyelenggara negara. Titi menjelaskan, pengabaian negara terhadap kemudahan akses air bagi masyarakat juga menjadi faktor pemicu kekerasan berbasis gender.

Padahal, sebagai kaum yang secara lahiriah lebih banyak membutuhkan air, akses terhadap air dan sanitasi harus dijamin pemerintah. Ini juga erat kaitannya dengan salah satu goal dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yaitu jaminan akses air bersih dan sanitasi.

Patriarki

Sistem masyarakat yang masih cenderung patriarki kerap tidak mengikutsertakan perempuan dalam pengambilan keputusan. Ini juga berlaku dalam urusan aksesibilitas air.

Sebagai contoh, pembangunan fasilitas penampungan air di wilayah terpencil nyatanya tidak memperhatikan kemudahan akses terhadap perempuan, seperti dibangun di wilayah yang sulit diakses atau tidak dialirkan hingga ke setiap rumah.

“Padahal bisa saja perempuan saat mencari air itu tidak sendiri, mungkin bawa anaknya, mungkin dalam kondisi hamil atau menstruasi sehingga akan sulit untuk menjangkau fasilitas penampungan yang memiliki akses yang sulit,” kata Titi.

Tidak dilibatkannya perempuan dalam pengambilan keputusan akan menyebabkan perempuan kurang terpenuhi kebutuhan dasarnya. “Seandainya pengambil keputusan mengutamakan sensitivitas gender, mungkin masalahnya bisa diminimalisasi,” tambahnya.

Jika memiliki akses yang sulit, lantas mengapa perempuan masih dibebankan tugas mengambil air? Menurut Titi, perempuan masih terkungkung oleh konstruksi gender sosial masyarakat patriarki. Konstruksi gender ini menyempitkan peran perempuan, sehingga kaum in dituntut untuk mengurus peran-peran domestik.

“Kenapa laki2 tidak, karena di masyarakat kita peran gender men-segregasi peran dunia publik dan domestik. Perempuan dituntut di dunia domestik, sedangkan laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah yang harus keluar rumah,” ujar Ketua Program Studi Doktor Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad tersebut.

Ketika akses sudah lebih baik, seharusnya peran-peran perempuan menggunakan air akan lebih mudah juga. Mempermudah akses air akan membantu mengurangi beban perempuan, bahkan mengurangi tindak kekerasan berbasis gender.

“Tetapi di Indonesia belum merata. Masih banyak wilayah yang sulit mendapatkan air,” cerita Titi.

Riset Pionir

Diketuai Stroma Cole yang juga peneliti terkait di bidang gender, tim berupaya memberikan argumen mengapa riset ini penting untuk didanai British Academy. Tim meyakinkan bahwa penelitian yang akan diangkat merupakan penelitian pionir di dunia, mengingat masih minim sekali literatur yang mengaitkan kekerasan berbasis gender dengan kelangkaan air.

“Ini juga senada dengan skema penelitian dari British Academy, mereka ingin mendapatkan penelitian yang dikatakan pionir,” kata Titi.

Gayung bersambut, tim berhasil meraih hibah senilai 200 ribu Poundsterling untuk aktivitas riset selama 2 tahun, yaitu terhitung 2020 hingga 2022.

Sebagai langkah awal, Titi mengumpulkan bukti empiris terkait laporan kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan ketika mencari air di wilayah pencarian. Bukti empiris lokal ini melahirkan hipotesis bahwa ada hubungan erat antara kelangkaan air dengan kekerasan berbasis gender,

Titi mengatakan, data empiris lokal ini perlu digali lebih lanjut melalui riset mendalam. Kemudian, tim melakukan komparasi dengan wilayah di negara lain, apakah fenomena ini juga terjadi di negara lain. Pada riset ini, tim membandingkan kondisi Indonesia dengan Peru, dua negara yang notabene memiliki kesamaan sebagai negara berkembang.

Di Indonesia sendiri, Titi memfokuskan lokasi penelitian di wilayah perdesaan di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Lokasi ini mencakup dua wilayah yang mengalami kelangkaan air, serta dua wilayah yang tidak mengalami kelangkaan air.

Menurut Titi, Sumba Timur merupakan salah satu wilayah yang kerap mengalami kelangkaan air. Sumber air memiliki jarak 4 – 6 kilometer dari rumah dengan kondisi rute yang berbukit. Tidak jarang perempuan Sumba menghabiskan waktu 6 jam hanya untuk memenuhi kebutuhan air.

Dalam melakukan riset tersebut, Titi memberdayakan sejumlah peneliti lokal di wilayah Sumba untuk membantu mengumpulkan data. Data diperoleh dari hasil survei melalui kuesioner dan wawancara kepada sekira 400 responden.

Wawancara dilakukan kepada korban kekerasan hingga wawancara dengan unsur pemerintah, tokoh agama, dan organisasi nonpemerintah.

Selanjutnya, data yang kemudian dikomparasikan dengan data yang diperoleh di Peru. Tim kemudian akan melihat mengenai apa saja yang sudah dilakukan untuk mengurangi kerawanan ini, serta bagaimana upaya meningkatkan daya lenting kekuatan lokal untuk mengatasi permasalahan ini.

Nantinya, riset ini tidak hanya menghasilkan publikasi ilmiah dan konferensi internasional, tetapi juga akan menghasilkan rencana aksi berupa program yang bisa dikembangkan di wilayah Sumba maupun menjadi percontohan di wilayah rawan lainnya.

“Kita ingin ada semacam project oriented yang dihasilkan dari proyek ini,” kata Titi.*

 

Share this: