Anne Nurbaity
Anne Nurbaity
Anne Nurbaity, S.P., M.P., Ph.D

Dengan tibanya bulan Ramadhan tahun ini, maka yang pertama kali saya lakukan adalah bersyukur. Segala puji bagi Allah SWT karena masih dipertemukan kembali dengan bulan suci ini. Betapa tidak, bulan ini bagaikan Tetra Sale (bahkan unlimited) dari Allah SWT yang memberikan pahalanya berlipat-lipat dibandingkan bulan-bulan lainnya, walaupun amalan kita hanya sekecil dzarah.

Ramadhan dan kewajiban berpuasa di dalamnya, tidak diragukan lagi hikmahnya bagi umat manusia. Tidak ada perintah Allah SWT yang tidak berguna bagi manusia. Sang Pencipta menyediakan Alquran sebagai pedoman mutlak hidup kita. Di bulan Ramadhan, rasanya tujuan setiap perbuatan dalam kehidupan semakin jelas, dan keinginan untuk selalu menyentuh Alquran begitu kuat.

Bagi saya, Ramadhan adalah keseimbangan hidup yang menimbulkan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan lewat suatu kebersamaan yang indah. Di bulan Ramadhan kita diajarkan hidup seimbang, antara pekerjaan untuk kepentingan duniawi dan ibadah untuk kepentingan ukhrowi. Hal ini pula yang seringkali menyadarkan diri bahwa sesungguhnya hakekat hidup ini adalah untuk senantiasa beribadah kepada Sang Khalik.

Kebersamaan yang tercipta selama bulan Ramadhan boleh jadi sangat sempurna. Pasalnya, jika pada hari-hari biasa, untuk bersama dengan keluarga seringkali harus dengan memperhitungkan jadwal dan beban pekerjaan, maka pada Ramadhan, tidak ada kompromi apapun untuk mengumpulkan keluarga dalam berbagai aktivitas, semuanya terjadi dengan sendirinya. Kebersamaan sejak mempersiapkan sahur, iftar, dan berjalan ke mesjid penuh rasa gembira untuk melaksanakan shalat tarawih dan subuh, merupakan anugerah indah yang mungkin tidak didapatkan pada bulan selain Ramadhan. Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban– Tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan.

Berpuasa di bulan Ramadhan juga merupakan salah satu bentuk kepatuhan kita kepadaNya. Di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, berpuasa tentu bukan hal yang tidak lazim. Namun, ada pengalaman menarik selama menempuh pendidikan di negeri yang mayoritas non muslim pada masa lalu, yang menunjukkan bahwa kita tetaplah harus patuh kepada Allah SWT, no matter what they provoking-thought.

Betapa tidak, pada musim panas dengan suhu 38oC, dengan tetap menggunakan pakaian tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki, saat itu saya melakukan pekerjaan lapangan untuk mengambil sampel di lahan petani di bawah terik matahari. Hal ini membuat teman-teman saya berkata “I think it should be okay for you to drink a glass of water and continue your fasting, otherwise you will faint”. Dengan halus, saya menolak dan mencoba menjelaskan, walaupun bagi mereka, kepatuhan ini jelas beyond their rationalities. Alhamdulillah, kesehatan saat itu tidak terganggu sama sekali.

Hikmah lainnya dengan berpuasa di bulan Ramadhan, sangat dirasakan positif terhadap kedisiplinan, solidaritas, kesabaran, keikhlasan dan tentu saja kejujuran. Sesungguhnya, mengapa kita senantiasa menjadi lebih berhati-hati dalam berucap dan bertindak terutama di bulan suci saja, padahal Raqib danAtid selalu berada di kanan kiri kita untuk mencatat segala amal perbuatan kita. Astagfirullahaladzim.

Akhirnya saya hanya berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan Rahmat dan HidayahNya agar perilaku dalam sisa hidup ini bisa selalu merasa seperti di bulan Ramadhan sampai bertemu dengan Ramadhan berikutnya. Amiin ya Rabbal alamiin.*

 

Anne Nurbaity

 

Hikmah Ramadan sebelumnya:

Share this: