Dr. med. Setiawan, dr (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Dr. med. Setiawan, dr (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Dr. med. Setiawan, dr (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Beliau dikenal di lingkungannya sebagai seorang ustadz. Karena kesalehan dan keluasan ilmunya, maka oleh kelompok masyarakat yang mampu di daerah itu, beliau diberikan wakaf untuk pengembangan pesantren, masjid dan bahkan rumah untuk didiami. Bertahun-tahun beliau membina masyarakat melalui pesantren, sehingga tumbuh ketergantungan yang besar dari masyarakat kepada beliau.

Namun, sebagaimana sudah menjadi takdir Illahi, setiap yang berjiwa pasti akan merasakan maut. Maka, bila sudah tiba saatnya, tidak akan bergeser waktu sedetik pun dan tidak akan mundur satu jengkal pun sampai kematian itu tiba yang tidak akan berubah takdirnya.

Kepulangan mendadak ustadz tersebut sangat mengagetkan masyarakat. Mereka bersedih, menangis, dan merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Teringat dan terkenang, kebaikan-kebaikan sang ustadz. Sekalipun hari telah senja, dan hujan pun deras mengguyur, masyarakat turut mengantarkan jenazah sang ustadz. Tak ketinggalan, para murid di pesantren yang telah merasakan ajaran dari sang ustadz pun ikut mengantar, bahkan alumni pesantren yang tinggal jauh, terus berduyun-duyun datang untuk takziah dan ikut mendoakan jenazah sang ustadz baik di pusaranya langsung, maupun mengadakan sholat jenazah di tempatnya masing-masing.

Sosok ustadz dalam konteks dunia pesantren, sebenarnya tidak berbeda dengan sosok guru atau dosen di lingkungan pendidikan. Yang berbeda adalah, tidak jarang para Ustadz itu tidak secara formal menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka lebih banyak yang menjadi Pegawai Allah. Tidak dikenal gaji bulanan, dan tentunya tidak pula dikenal tunjangan sertifikasi profesi, atau pensiun. Profesi ustadz, adalah profesi sepanjang hayat. Bila saja kehidupan seorang ustadz yang secara ekonomi sangat tidak menentu, tapi secara totalitas mencurahkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk kemaslahatan masyarakat, maka tentu seorang guru atau dosen, yang sebagian kehidupannya telah ditanggung oleh negara, haruslah memiliki totalitas dalam mencurahkan waktu, pikiran, dan tenaganya paling tidak untuk kemaslahatan para muridnya atau para mahasiswanya.

Akibat dari kecintaan seorang Ustadz terhadap murid di pesantren, dan juga totalitas pengabdian seorang ustadz kepada masyarakat, terlihat dari penghormatan dan penghargaan murid dan masyarakat ketika sang ustadz berpulang. Ilmu yang bermanfaat yang telah disebarluaskan kepada murid dan masyakarat, serta doa dan harapan dari murid serta masyarakat merupakan amal jariah yang akan memberikan kebahagiaan kepada ustadz bahkan setelah ustadz berpulang.

Perlu kita renungkan, dalam posisi kita sebagai dosen, apakah kita sudah memberikan totalitas tersebut. Apakah kita sudah menyebarkan ilmu yang bermanfaat yang dirasakan oleh para mahasiswa, membekas sehingga memberikan bekal untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Demikian pula, diseminasi ilmu itu dilakukan kepada masyarakat, sehingga masyakarat bisa lebih cerdas dan sejahtera.

Pernahkah kita merenungkan, apakah bila saatnya tiba, ajal menjemput kita sebagai seorang dosen, akan datang berduyun-duyun para murid kita, para mahasiswa kita, para alumni yang pernah kita ajar, karena mereka merasakan betul kehadiran kita dan kontribusi kita untuk penyebaran ilmu yang bermanfaat? Ataukah mereka akan serta merta mudah melupakan kita, karena kehadiran kita saat di kelas, kebersamaan kita di luar kelas itu hanyalah seperti ada dan tiada bagi mereka. Bila kondisi yang kedua yang terjadi, maka kita khawatir bahwa ilmu yang kita ajarkan, bukanlah amalan jariah. Sulit bagi kita memperoleh doa-doa yang baik dari para mahasiswa, atau bahkan alumni.

Demikian pula, terbatasnya peran kita di masyarakat, akan membuat penghalang hubungan kita sebagai manusia dengan masyarakat, membuat mereka tidak merasakan arti dari kehadiran seorang guru atau dosen di masyarakat.

Sedih rasanya, bila sekali lagi kematian kita sebagai seorang guru dalam konteks dosen tidak sama dengan kematian seorang guru dalam konteks ustadz, karena kita sebagai dosen, tidak memberikan nilai apa-apa selama menjalankan profesi yang seharusnya mulia.

Rasulullah SAW pernah bersabda: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Profesi dosen, adalah profesi yang sangat mulia. Tidak ada pelita yang bersinar sebagaimana ilmu yang disebar, bila tidak ada profesi guru dan dosen. Di tengah kesyahduan bulan Ramadhan, perlu kita renungkan kembali, sudah benarkah kita menjalankan profesi sebagai seorang dosen.

Secara formal, ada berbagai kompetensi yang harus dimiliki seorang dosen. Yang pertama, adalah kompetensi keilmuan. Ilmu yang diajarkan harusnya ilmu yang terkini dan seideal mungkin didasarkan pada kontribusi penelitian dan pengalaman yang pernah dilakukan secara nyata oleh para dosen. Kompetensi kedua, adalah kompetensi pedagogis, menyangkut kemampuan seorang guru atau dosen menyampaikan materi pembelajaran.

Berbagai metode telah berkembang, tinggal totalitas dan keteguhan seorang guru atau dosen memanfaatkan berbagai metode tadi, tidak hanya di dalam kelas. Kompetensi ketiga adalah kompetensi kepribadian. Berbagai ahli pendidikan telah menyampaikan, bahwa perubahan sikap dan perilaku sebagai komponen penting dari luaran pembelajaran, hanyalah dapat dicapai apabila ada keteladanan.   Maka, sosok guru dan dosen yang memiliki kepribadian yang baik sangat diperlukan, sebagai panutan atau role model bagi para murid dan mahasiswa. Kompetensi yang terakhir adalah kompetensi sosial, bagaimana caranya sebagai anggota masyarakat, keberadaan guru dan dosen dirasakan secara langsung oleh masyarakat dimana mereka tinggal.

Insya Allah, apabila setiap guru dan dosen, menyadari tugasnya, menyadari hakikat profesinya yang luhur, dengan senantiasa meningkatkan kompetensinya, baik keilmuan, kemampuan sebagai pendidik, kepribadian dan sosial, maka ketika saatnya tiba nanti, seorang guru atau dosen menghadap ke haribaan Allah SWT, akan banyak murid, mahasiswa, alumni dan masyarakat yang akan menangisi kepergiannya, seraya berdoa untuk kebaikan sang guru dan dosen tadi.

Yakinlah kepada firman Allah SWT yang menyatakan bahwa: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” Mudah-mudahan, sekecil apapun amal kebaikan kita sebagai seorang dosen yang ditanam kepada mahasiswa dan masyarakat, akan memberikan kebaikan kepada kita, dan amal-amal itu pun akan terakumulasi sehingga menjadi penebus dosa-dosa yang telah dilakukan selama kehidupan kita. Mudah-mudahan, kepulangan kita kelak akan memberikan jalan untuk memperoleh ridha Allah SWT, dan ganjaran kenikmatan Syurga yang kekal selama-lamanya. Aamiin.

Setiawan

Hikmah Ramadan sebelumnya:

Share this: