Dr. Ir. Iwang Gumilang, M.Si, “Model Silvofishery Tepat untuk Kawasan Budidaya Perikanan Pantura”

Dr. Ir. Iwang Gumilang, M.Si. (Foto oleh: Dadan T.)*

[Unpad.ac.id, 21/12/2015] Kegiatan budidaya perikanan di pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat masih belum berwawasan lingkungan. Padahal, lokasi ini telah dijadikan Kawasan Strategi Provinsi (KSP) Jawa Barat bidang lingkungan hidup dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat 2009 – 2029.

Dr. Ir. Iwang Gumilang, M.Si. (Foto oleh: Dadan T.)*
Dr. Ir. Iwang Gumilang, M.Si. (Foto oleh: Dadan T.)*

“Artinya apa, jika dilakukan analisis, pencemaran yang ditimbulkan dari kegiatan budidaya cukup besar,” kata dosen Departemen Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Dr. Ir. Iwang Gumilang, M.Si. Fenomena ini menjadi ketertarikan bagi Dr. Iwang untuk mengembangkan keilmuannya di bidang sosial ekonomi perikanan.

Kawasan pantura menjadi lokasi konsentrasi perikanan –baik perikanan tangkap maupun budidaya– terbesar di Jawa Barat yang tersentral di Indramayu. Provinsi ini juga menjadi sentra produksi perikanan terbesar di Indonesia. Sebagai KSP Jawa Barat, pantura telah ditetapkan sebagai kawasan prioritas pengembangan pemerintah dengan tetap memperhatikan sektor keberlangsungan lingkungan.

Menilik data RTRW Provinsi Jabar 2009 – 2029,penanganan kawasan strategis pantura meliputi: pemanfaatan sumber daya alam, rehabilitasi/revitalisasi kawasan hutan mangrove, pengembangan kegiatan ekonomi pesisir, serta peningkatan kualitas permukiman wilayah. Dari sektor potensi budidaya perikanan, Dr. Iwang telah memetakan komoditas yang representatif dibudidayakan di wilayah Indramayu, yaitu ikan nila, mujair, patin, lele, bandeng, dan udang windu.

Tingginya beban pencemaran perairan di laut Jawa menurut Dr. Iwang diakibatkan dari hasil pencemaran dosmestik dan industri. Jika kegiatan budidaya di pantura belum berwawasan lingkungan, maka akan semakin menambah beban pencemaran di perairan laut Jawa.

Dosen kelahiran Sumedang, 6 Februari 1967 ini menuturkan, sektor tambak kini menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Budidaya tambak relatif memberikan kesejahteraan yang baik. Komoditas yang diusahakan merupakan komoditas yang berorientasi ekspor, sehingga nilainya relatif tinggi, bahkan dalam krisis sekalipun. Hanya saja potensi yang menjanjikan dari sektor tambak ini juga menghadapi tantangan yang tidak mudah.

Namun, beragam permasalahan lingkungan salah satunya menjadi faktor berpengaruh dalam sektor budidaya tambak di pantura. Dari segi lingkungan, lanjut Dr. Iwang, kualitas air di kawasan pantura telah tercemar dengan kategori sedang hingga berat. Hasil kajian terakhir yang dilakukannya di kawasan Subang Utara menunjukkan kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen [DO]) menunjukkan angka di bawah 3.

“Artinya kalau DO di bawah 3, nafas si ikan dalam air sudah kembang kempis. Sudah DO-nya rendah airnya juga tercampur polutan, ikan tidak akan bertahan lama. Ini fenomena yang banyak terjadi,” jelasnya.

Terapkan Model Silvofishery
humas unpad 2015_12_11 Iwang Gumilar 2 - DADANTim ahli Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jabar ini menjelaskan, kegiatan budidaya di kawasan pantura sudah harus berwawasan lingkungan. Jika kemudian budidayanya tidak berwawasan lingkungan, akan bertentangan dengan status KSP.

Adapun definisi berwawasan lingkungan menurut Kepala Departemen Sosial Ekonomi Perikanan FPIK Unpad ini adalah terintegrasinya sektor ekologi dengan sosial dan ekonomi dalam suatu pembangunan. Maka, selain memperhatikan faktor sosial ekonomi, faktor lingkungan pun harus diperhatikan khususnya oleh pembudidaya.

Guna menanggulangi hal tersebut, penerapan model silvofishery di kawasan budidaya sangat direkomendasikan. Model ini memadukan tanaman mangrove di dalam produksi tambak. Namun, kata Dr. Iwang, ada beberapa modifikasi yang harus diintroduksikan mengenai model ini, terutama oleh pemerintah dan perguruan tinggi.

Menurut Dr. Iwang, jika berbicara mengenai silvofishery, masyarakat akan berpikir mengenai model penanaman mangrove di tengah tambak. Hal ini jelas keliru. Model silvofisehry yang direkomendasikan olehnya yaitu mangrove ditanam di area sekeliling tambak. Ideal lokasi tambak menurutnya berada pada jarak 100 – 150 meter dari bibir pantai. Dari jarak tersebut ditanami kembali tanaman mangrove yang berfungsi sebagai green belt.

“Fungsi dari green belt itu banyak, berkaitan dengan kualitas air. Kualitas air yang ada di kawasan mangrove itu jauh lebih baik dengan kualitas air di luar mangrove. Karena mangrove di akarnya punya bulu yang bisa mengikat sedimen, sehingga zat pencemar itu diserap oleh akar mangrove,” jelasnya.

Penanaman mangrove di tengah tambak justru tidak direkomendasikan olehnya. “Ketika panen otomatis mangrove yang ditanam di tengah harus dibabat. Membabat itu butuh waktu dan biaya yang lebih. Pada akhirnya akan berpengaruh kepada peningkatan biaya produksi,” kata Dr. Iwang.

Meski dinilai baik, penelitian yang dilakukan Dr. Iwang menunjukkan, produktivitas tambak model silvofishery menurun 0,5% dibanding tambak konvensional. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, balai penelitian, maupun peneliti perguruan tinggi untuk menghasilkan model tambak silvofishery namun dengan produktivitas yang setidaknya setara dengan tambak konvensional.

Model silvofishery juga mendatangkan keuntungan lain. Kawasan tambak silvofishery bisa menjadi wahana pariwisata berbasis lingkungan. Jajaran kawasan mangrove bisa menjadi wahana wisata lingkungan, sementara tambak di sekitarnya bisa menjadi wahana edukasi efektif bagi generasi muda. Setidaknya, hal inilah yang menjadi gagasan Dr. Iwang dalam peningkatan aspek sosial ekonomi perikanan.

“Secara ekologi keberadaan mangrove akan terjamin, tidak akan sembarangan ditebang karena menjadi potensi pariwisata. Di sisi lain, tambak bisa menghasilkan komoditas ikan,” ujarnya.

Melihat geliat wisata bahari tengah bangkit, ia optimis pencapaian tambak silvofishery dapat terwujud. “Saya yakin semua orang sadar itu solusi tengah untuk kepentingan ekologi dan ekonomi berkelanjutan,” kata Dr. Iwang.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh

Share this: