Indonesia Menganut Sistem Presidensial, Kekuasaan Presiden Justru Seperti Dipreteli

Seminar Nasional “Sistem Presidensial yang Efektif Menurut UUD NRI 1945” di Bale Rumawat Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Kamis (11/12).

[Unpad.ac.id, 11/12/2014] Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Pakar ilmu politik dunia, Rod Hague, menyebut ada tiga unsur sistem pemerintahan presidensial, salah satunya adalah tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan legislatif.

Seminar Nasional “Sistem Presidensial yang Efektif Menurut UUD NRI 1945” di Bale Rumawat Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Kamis (11/12).
Prof. Dede Mariana (kiri) dalam Seminar Nasional “Sistem Presidensial yang Efektif Menurut UUD NRI 1945” di Bale Rumawat Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Kamis (11/12). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Ironisnya, unsur di atas tidak tampak pada pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut dikemukakan oleh Guru Besar FISIP Unpad, Prof. H. Dede Mariana, M.Si. “Sekarang ini agak aneh, UU bisa diajukan oleh DPR (legislatif). Padahal itu hak Eksekutif (Presiden),” ungkapnya saat Seminar Nasional “Sistem Presidensial yang Efektif Menurut UUD NRI 1945” di Bale Rumawat Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Kamis (11/12).

Padahal, lanjut Prof. Dede, Presiden memiliki kedudukan yang sangat kuat di pemerintahan. Namun saat ini kekuasaan presiden seolah dipreteli. Proses pembuatan kebijakan lebih didominasi peran DPR. Namun, DPR nyatanya masih belum bekerja untuk rakyat.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh pengamat politik Yudi Latief, Ph.D. Sistem presidensial akan berjalan efektif apabila pemimpinnya memiliki jiwa visioner. Presiden punya hak prerogatif untuk menunjuk menteri dan menjalankan wewenangnya.

Terkait “ketidakberdayaan” Presiden baru Indonesia saat menjalankan pemerintahan, Yudi mengemukakan ada beberapa masalah yang terjadi. Salah satunya ialah ketidakjelasan lembaga legislatif di Indonesia. Hal ini terjadi setelah MPR diturunkan kedudukannya menjadi Lembaga Tinggi Negara.

Dengan demikian, DPR memiliki kewenangan yang besar. Menurut Yudi, saat ini DPR seperti lembaga tertinggi untuk menjalankan pemerintahan. “Ini artinya tidak ada mekanisme check and balance dari parlemen, sehingga DPR bisa berbuat semena-mena,” kritiknya.

Ketidakjelasan tersebut juga berimbas pada kondisi politik saat ini. Prof. Dede menjelaskan politik Indonesia pascareformasi masih berjalan dalam tataran demokrasi prosedural. Hal ini ditandai menguatnya budaya politik orientasi parpol. Sikap ini berimplikasi melahirkan budaya politik transaksional.

“Segala tindakan politik akan selalu diujung-ujungkan dengan uang. Perumusan Undang-undang saja saat ini sudah ada praktik percaloan. Ini potret buram capaian demokrasi kita,” kata Prof. Dede.

Seminar ini digelar oleh Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad bekerja sama dengan Pusat Studi Setjen MPR. Dibuka secara resmi oleh Kepala Pusat Studi Setjen MPR, Ma’ruf Cahyono, seminar ini menghadirkan para ahli ilmu pemerintahan, salah satunya ialah Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Bagir Manan.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh

Share this: