Pengembangan Komunikasi Kesehatan Perlu Ditingkatkan

Dr. Antar Venus, Drs., M.A.Comm., saat menjadi pembicara di Seminar “Vivat Academia Seminar Oktober 2012”, Kamis (04/10). (Foto: Tedi Yusup)

[Unpad.ac.id, 04/10/2012] Ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh tenaga kesehatan guna meningkatkan kinerja, salah satunya ialah peran komunikasi kesehatan untuk membangun hubungan yang ideal antara dokter dengan pasiennya. Di Indonesia sendiri, peran komunikasi kesehatan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku kesehatan dalam mengobati pasiennya.

Dr. Antar Venus, Drs., M.A.Comm., saat menjadi pembicara di Seminar “Vivat Academia Seminar Oktober 2012”, Kamis (04/10). (Foto: Tedi Yusup)

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh National Healthcare Group International Business Development Unit (NHG IBDU) Singapura, 34% persen dari 300.000 pasien yang berobat ke Singapura berasal dari Indonesia. Angka yang tidak sedikit tersebut membuat Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) DKI Jakarta mengambil analisis bahwa fenomena “berobat ke negeri tetangga” tersebut disebabkan oleh lemahnya peran komunikasi kesehatan para pelaku kesehatan dalam melayani pasiennya.

“Data tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan konsumen pada layanan komunikasi kesehatan di Indonesia. Bahkan, MKEK sendiri juga mencatat bahwa jumlah pengaduan terhadap profesi kedokteran terus bertambah,” ungkap dosen Fikom Unpad, Dr. Antar Venus, Drs., M.A.Comm., saat menjadi pembicara di Seminar “Vivat Academia Seminar Oktober 2012” di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad, Kampus Unpad Jatinangor, Kamis (04/10).

Ia membawakan presentasi komunikasi kesehatan dengan judul “Praktik dan Pengembangan Komunikasi Kesehatan di Indonesia: Beberapa Tantangan dan Peluang”. Lebih lanjut Dr. Antar Venus mengungkapkan bahwa berdasarkan riset yang dilakukan 10 tahun terakhir, aktivitas komunikasi yang dilakukan akan berdampak pada kesehatan.

“Menurut riset, orang yang mendengarkan itu, tekanan darahnya cenderung stabil dan turun. Begitu juga ketika melakukan jogging. Jogging bareng lebih baik dengan jogging sendiri. Jogging sambil berkomunikasi akan meregenerasi sel-sel otak lebih banyak hingga dua kali lipat,” jelasnya.

Profesional Therapeutic Communication Trainer ini juga mengungkapkan di Indonesia hanya sekitar 30% saja dokter yang dinilai oleh pasien sangat emosional, dalam arti memiliki sikap empati yang baik terhadap pasiennya. Hal ini tentunya berbeda dengan dokter-dokter di negara lain yang umumnya memiliki sikap empati dan punya banyak waktu untuk mendengarkan, sehingga pasien pun tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan secara dalam.

Komunikasi kesehatan di Indonesia sendiri sebenarnya merupakan isu yang memiliki perhatian yang sangat baik. Sayangnya, perhatian ini tidak diimbangi dengan penerapan yang baik pula. Tradisi riset komunikasi kesehatan yang  dilakukan  pun  masih sekadar sebagai tugas skripsi atau tesis dengan penerapan metode penelitian yang longgar, tidak cermat, sulit digeneralisasi dan sebagian besar hanya melibatkan  topik-topik yang  kurang strategis bagi pengembangan dan pembuatan kebijakan komunikasi kesehatan di Indonesia.

Dari segi kelembagaan pun, ia menilai Indonesia belum memiliki sebuah lembaga pendidikan yang khusus berdedikasi terhadap pengembangan disiplin komunikasi kesehatan di Indonesia. Oleh karena itu, ia berharap perlu ada upaya lebih untuk meningkatkan komunikasi kesehatan agar lebih terintegrasi, terarah dan terencana dengan baik. “Inilah beberapa peluang dan tantangan yang perlu dijawab oleh pelaku komunikasi kesehatan di Indonesia,” kata Dr. Antar Venus.*

Laporan oleh: Arief Maulana/mar

Share this: