Setelah 14 Tahun, Otonomi Khusus Papua Masih Alami Kendala

Seminar Nasional 2015 “Kebijakan Otonomi Khusus Papua dalam Pembangunan Politik dan Ekonomi: Perspektif Politik dan Keuangan” di Bale Sawala Unpad, Jatinangor, Selasa (24/03). (Foto oleh: Tedi Yusup)

[Unpad.ac.id, 24/03/2015] Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Propinsi Papua sudah empat belas tahun diterapkan. Berbagai pembangunan di Papua pun sudah banyak dilaksanakan. Namun, apakah tujuan otonomi khusus Papua sudah tercapai?

Seminar Nasional 2015 “Kebijakan Otonomi Khusus Papua dalam Pembangunan Politik dan Ekonomi: Perspektif Politik dan Keuangan” di Bale Sawala Unpad, Jatinangor, Selasa (24/03). (Foto oleh: Tedi Yusup)
Suasana pelaksanaan Seminar Nasional 2015 bertema “Kebijakan Otonomi Khusus Papua dalam Pembangunan Politik dan Ekonomi: Perspektif Politik dan Keuangan” di Bale Sawala Unpad, Jatinangor, Selasa (24/03). (Foto oleh: Tedi Yusup)

Ternyata, berbagai permasalahan masih banyak terjadi di Papua. Guru Besar Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad, Prof. Rizal Djalil, mengatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih rendah, terutama bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, yang ukurannya berbeda. Kualitas pendidikan dan kesehatan masih rendah, serta tingkat kemiskinan masih tinggi.

“Tidak semua persoalan selesai dengan dialog. Harus ada action. Apa actionnya? Ubah Undang-undang ini,” ujar Prof Rizal saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional 2015 “Kebijakan Otonomi Khusus Papua dalam Pembangunan Politik dan Ekonomi: Perspektif Politik dan Keuangan”. Acara digelar oleh FISIP Unpad di Bale Sawala Unpad, Jatinangor, Selasa (24/03).

Menurut Prof. Rizal, berbagai persoalan di Papua harus diselesaikan dengan regulasi yang jelas dan tepat, yang berpihak kepada rakyat Papua. Selain itu, sebaiknya persoalan Papua biarlah diselesaikan oleh masyarakat Papua sendiri, pemerintah pusat hanya melakukan pendampingan bila dibutuhkan.

Dalam hal ini, akademisi Unpad dapat berperan dalam membuat naskah akademis untuk diserahkan DPR. “Bukan lagi otonomi khusus, dia harus menjadi otonomi diperluas. Bagaimana caranya? Yang pertama kuncinya adalah naskah akademis,” tuturnya.

Sementara itu Gubernur Papua, Lukas Enembe, S.IP, MH., mengatakan ada lima prinsip dasar Otsus Papua. Kelima prinsip tersebut adalah Proteksi (perlindungan terhadap orang asli Papua), Affirmasi (keberpihakan kepada orang asli Papua), Pemberdayaan (bagi masyarakat Papua), Universal (berlaku umum), Akuntabilitas (harus ada pertanggungjawaban kepada publik).

Bagi Papua, UU Otsus membawa harapan baru bagi Papua untuk menjawab berbagai persolan yang terjadi bertahun-tahun sejak Indonesia merdeka. Namun terdapat masalah formulasi dan implementasi Otsus Papua. Diantaranya adalah beberapa kebijakan nasional dalam bentuk Peraturan Perudang-undangan yang tidak sejalan dan selaras dengan UU Otsus. Bahkan, banyak lembaga pemerintahan yang tidak tahu mengenai Otonomi Khusus Papua ini sehingga kebijakannya menjadi berbenturan. Menurut Lukas, pemerintah pusat tidak melakukan sosialisasi UU Otsus pada tingkat Kementerian/Lembaga.

Permasalahan di daerah, banyak aparat penyelenggara pemerintahan tidak memahami dengan baik filosofi dan substansi isi UU Otsus Papua. Akibatnya, yang terjadi adalah munculnya birokrasi konvensional. Perencanaan pembangunan pun berjalan secara konvensional.

Guru Besar Ilmu Pemerintah FISIP Unpad, Prof. Dr. Drs. H. Utang Suwaryo, MA. menuturkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan otonomi khusus di Papua perlu memperhatikan aspek filosofis, sosiologis, historis, politis, dan yuridis. Saat ini, kadang yang terjadi adalah tidak sinkronnya pemikiran dari pemerintah atau pengamat, dengan apa yang terjadi pada masyarakat itu sendiri.

Selanjutnya, otonomi khusus juga bukan hanya diterapkan pada Papua, Aceh, atau Yogyakarta saja. Otonomi khusus juga dapat diterapkan di berbagai daerah lain di Indonesia, asal kesejahteraan dan kemakmuran dapat terjamin meningkat. “Tetapi basicnya adalah kewenangan dan potensi yang dimiliki oleh daerah, bukan politis,” ujar Prof. Utang.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Share this: