Sampaikan Orasi Ilmiah, Enam Guru Besar FK Paparkan Hasil Pemikirannya

Empat Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dikukuhkan menjadi guru besar dalam Upacara Pengukuhan dan Orasi Ilmiah sesi 1 yang digelar di di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Selasa (6/2/2024). (Foto: Dadan Triawan)*

Laporan oleh Anggi Kusuma Putri dan Salsabila Andiana

[Kanal Media Unpad] Sebanyak enam Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran menyampaikan orasi ilmiah berkenaan dengan penerimaan jabatan guru besar di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Selasa (6/2/2024).

Enam Guru Besar tersebut adalah Prof. Dr. Hikmat Permana, dr. Sp.PD(K)., Prof. Dr. Arto Yuwono Soeroto, dr. SpPD, K-P., Prof. Hendra Gunawan, dr., Sp.D.V.E., Subsp.D.T., Ph.D., Prof. Dr. Susi Susanah, dr. SpA(K)., M.Kes., Prof. Dr. Dewi Marhaeni Diah Herawati, drg., M.Si., dan Prof. Dr. Deni Kurniadi Sunjaya, dr, DESS.

Prof. Hikmat Permana

Pada kesempatan tersebut, Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Dalam Prof. Hikmat Permana menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “Peluang Digitalisasi Rujukan Kesehatan Penyandang Diabetes Mellitus Dalam Membangun Indonesia Sehat”.

Prof. Hikmat menjelaskan bahwa penyelenggaraan program digitalisasi rujukan kesehatan secara maksimal dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, sehingga tujuan pelayanan dapat tercapai tanpa perlu mengeluarkan biaya yang mahal, namun efektif dan efisien.

Menurut Prof. Hikmat, aplikasi Sistem Rujukan Terintegrasi (Sisrute) dapat digunakan sebagai media komunikasi antar fasilitas kesehatan terkait rujukan medis hingga lintas provinsi, terutama bagi pasien yang membutuhkan pelayanan dengan kompetensi tertentu serta kasus kegawatdaruratan.

Tidak hanya pada kasus diabetes, digitalisasi rujukan medis juga sangat bermanfaat dalam perkembangan dunia kedokteran modern  dengan membentuk suatu jejaring data secara menyeluruh menuju pelayanan kesehatan berkualitas, efektif, dan efisien bagi masalah kesehatan pada umumnya.

Prof. Arto Yuwono Soeroto

Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Dalam/Pulmonologi Prof. Arto Yuwono Soeroto menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “Perspektif dan Strategi Pada Permasalahan Tatalaksana Klinis Tuberkulosis Resistan Obat dalam Upaya Mencapai Target WHO End Strategy 2035”.

Prof. Arto menyampaikan bahwa jumlah kasus tuberklosis resisten obat (TB-RO) yang semakin meningkat menjadi sebuah ancaman bagi keberhasilan pencapaian target penerapan Strategi Akhiri TB WHO tahun 2035 (WHO End Tuberculosis Strategy 2035).

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa salah satu faktor dari meningkatnya kasus TB RO adalah beberapa kesulitan dalam pengobatan, seperti penggunaan obat-obatan yang relatif banyak, penggunaan obat suntik, durasi pengobatan yang cukup lama sekitar 9-24 bulan, serta banyaknya efek samping sehingga menyebabkan rendahnya angka keberhasilan pengobatan.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut, Prof. Arto menyampaikan bahwa salah satu strategi klinis  yang dapat dilakukan dalam tata laksana pengobatan TB RO adalah memanfaatkan obat-obatan atau paduan terbaru yang efektif dan lebih aman.

“Salah satu strategi klinis dalam tata laksana TB RO adalah memanfaatkan sesegera mungkin obat-obatan atau paduan terbaru yang efektif dan lebih aman,” jelas Prof. Arto.

Prof. Hendra Gunawan

Prof. Hendra Gunawan, dr. Sp. D.V.E., Subsp.D.T.,Ph.D. membawakan orasi ilmiah berjudul “Konsistensi Implementasi Strategi Pencapaian Zero Leprosy: Menuju Indonesia Bebas Kusta”. Prof. Hendra diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu Dermatologi Tropis.

Dalam orasinya, Prof. Hendra bahwa diperlukan konsistensi dalam implementasi strategi pencapaian target program Zero Leprosy. Menurutnya, “Indonesia Bebas Kusta” dapat diraih dengan menekankan pentingnya pendidikan, penelitian, dan inovasi yang berhubungan dengan kusta, juga peran dari masyarakat serta kolaborasi dan komitmen seluruh pemangku kepentingan.

“Dengan berfokus pada deteksi dini hingga advokasi, serta promosi penelitian dan inovasi, kita dapat menggapai tujuan Indonesia tanpa kusta,” tegasnya.

Prof. Susi Susanah

Prof. Dr. Susi Susanah, dr. SpA(K)., M.Kes. membacakan orasi ilmiah berjudul “Transformasi Pendekatan Integratif Tata Laksana Penyakit Genetik di Indonesia: Talasemia sebagai Model”. Prof. Susi diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu Kesehatan Anak.

Prof. Susi memaparkan bahwa talasemia telah menjadi masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia. Berdasarkan penilaian sistem skoring dari dari Thalassemia International Federation, posisi Indonesia dalam program nasional pencegahan talasemia masih menempati kategori D.

“Maknanya (kategori D) adalah negara dengan aktivitas pencegahan dan pengendalian talasemia masih sangat rendah,” paparnya.

Prof. Susi menjelaskan bahwa untuk mengatasi pengendalian penyakit talasemia, diperlukan peran pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia dalam menurunkan lahirnya talasemia mayor baru. Hal tersebut dapat dilakukan melalui upaya sosialisasi, skrining talasemia, serta hasil-hasil riset kolaborasi dari akademisi dan klinisi.

“Tata laksana komprehensif dan integratif talasemia mengandung makna untuk meningkatkan mutu pelayanan untuk kesintasan dan kualitas hidup penyandang talasemia yang lebih baik,” ujarnya.

 Kegiatan dan inovasi riset serta teknologi terkait upaya menurunkan prevalensi talasemia juga diperlukan melalui kolaborasi multidisiplin dan multisektor yang didukung oleh kebijakan pemerintah.

“Pusat Talasemia Jawa Barat merupakan salah satu solusinya,” pungkas Prof. Susi.

Prof. Dewi Marhaeni Diah Herawati

Prof. Dr. Dewi Marhaeni Diah Herawati, drg. M.Si. membacakan orasi ilmiahnya yang berjudul “Mengelola Gizi untuk Keunggulan Bangsa”. Prof. Dewi diangkat sebagai guru besar bidang Ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

Prof. Dewi memaparkan bahwa makanan dengan kandungan zat gizi yang baik sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup, pertumbuhan fisik, pengembangan mental, produktivitas, kesehatan, dan kesejahteraan, serta dapat meningkatkan produktivitas dan membuka peluang untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan secara bertahap.

Kekurangan zat gizi yang memadai dapat memicu malnutrisi. “Saat ini dunia menghadapi ‘triple burden malnutrition’ yang meliputi gizi kurang (wasting), stunting, dan obesitas,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof. Dewi menjelaskan bahwa dalam mengelola gizi keluarga, dukungan dan keterlibatan keluarga dibutuhkan untuk melakukan perubahan berkelanjutan terhadap pola makan yang lebih sehat.

Menurutnya, smart food dapat dikembangkan untuk mengatasi permasalahan malnutrisi. “Konsep smart food adalah mengajarkan bagaimana makanan seharusnya baik untuk tubuh, baik untuk planet ini, dan baik bagi petani,” jelasnya.

Prof. Dewi menyarankan agar setiap individu, keluarga, masyarakat dan negara harus menyadari pentingnya mengonsumsi “smart food” untuk menurunkan prevalensi malnutrisi dan penyakit sistemik secara optimal, serta menjaga sumber daya alam dengan baik demi kesejahteraan masyarakat

“Sehingga SDM bangsa kita bisa unggul dibanding negara lain,”pungkasnya.

Prof. Deni Kurniadi Sunjaya

Guru Besar Bidang Ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Prof. Deni Kurniadi Sunjaya menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “Menyiapkan Lansia Mandiri dan Sehat Holistik Menuju Indonesia Emas”.

Prof. Deni menjelaskan bahwa kebijakan kesehatan kelompok rentan khususnya lansia telah banyak mengatur aspek jaminan perlindungan sosial dan kesehatan, seperti terkait perawatan jangka panjang atau perawatan paliatif. Namun, kebijakan yang dibangun membutuhkan perubahan pandangan satu sisi terhadap kelompok lanjut usia, dari sebagai “beban”, menjadi suatu “potensi pembangunan”.

 “Negara wajib menanggung kelompok masyarakat yang sangat tergantung dan membutuhkan bantuan. Namun juga perlu mengidentifikasi potensi pembangunan dari kelompok lanjut usia ini,” ujar Prof. Deni.

Prof. Deni menyampaikan untuk menghadapi hal tersebut diperlukan sistem informasi kesehatan lansia yang dinamis. Digital Twins di bidang kesehatan merupakan salah satu pilihan strategi yang tepat dalam  menggunakan teknologi untuk memperkuat kesehatan masyarakat dan sistem kesehatan yang lebih presisi.

“Sejak tahun 2021, kami mengembangkan cikal bakal “sensor-sensor” seperti yang dimaksud dalam digital twins berupa aplikasi-aplikasi skrining kesehatan digital yang berada dalam suatu platform. Skrining digital tersebut kami simpan dalam suatu platform bernama screenout agar aplikasi-aplikasi tersebut dapat terpelihara, mudah ditingkatkan, dan mudah berinteraksi satu sama lain,” ungkapnya. (art)*

Share this: