Tutty I. Sodjakusumah, Dra., M.Sc., M.Litt, “Unpad Perlu Bentuk Pusat Krisis Penangangan Bencana”

Tutty I. Sodjakusumah, dra., M.Sc., M.Litt *

[Unpad.ac.id, 26/01/2015] Banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia belakangan berpotensi melahirkan trauma di beberapa pihak. Trauma tersebut tidak hanya menimpa pada korban, kerabat atau keluarga korban, bahkan hingga orang-orang yang menyaksikannya secara langsung maupun di media terkait bagaimana terjadinya bencana hingga penanganan pascabencana.

Tutty I. Sodjakusumah, dra., M.Sc., M.Litt *
Tutty I. Sodjakusumah, dra., M.Sc., M.Litt *

Dalam psikologi, trauma diartikan sebagai luka psikologis yang bisa bersifat individual maupun massal. Bisa terjadi kepada siapapun, baik anak kecil hingga orang tua.Hal itu diungkapkan oleh ahli Psikologi Budaya Fakultas Psikologi Unpad, Tutty I. Sodjakusumah, Dra., M.Sc., M.Litt.

“Trauma adalah satu situasi dimana ia merasa ketakutan dan terancam akibat situasi yang sifatnya menyakitkan/menakutkan, tidak bisa diprediksi dan mendadak,” ujar Tutty.

Dalam konteks bencana, baik skala kecil maupun besar, kondisi trauma memperlihatkan korban tidak mampu mengontrol dirinya sendiri. Bayangan bencana yang menakutkan terus menekan dirinya. Konidisi ini bisa dikurangi dampaknya bila segera ditangani dengan cara trauma healing.

Menurut Tutty, trauma healing adalah meminimalisir sebesar mungkin dampak trauma pada seseorang/massal. Bisa dari hal yang paling ringan seperti mengalihkan perhatian korban dan situasi yang tidak menyenangkan, hingga beragam bentuk psikoterapi seperti Teknik Eye Movement Desentizitation and Reprocessing (EMDR), Emotional Freedom Technique (EFT), dan yoga.

Karena bisa terkena kepada siapa saja, trauma juga bisa menyerang bukan hanya kepada korban, melainkan kepada relawan yang membantu.

Dosen yang aktif menangani penyintas (orang yang mampu bertahan hidup –red.) bencana alam di Indonesia ini menuturkan, hanya saja penanganan trauma healing terhadap korban bencana acapkali tidak terkontrol dengan baik. Pengalaman di lapangan, banyak LSM/ individual yang ikut membantu melakukan trauma healing, terutama dalam konteks anak-anak.

“Pernah sewaktu kejadian di Situ Gintung, ada sekitar 20an LSM turun di tempat yang sama menangani anak. Anak dari pagi sampai sore ditangani oleh sekian banyak LSM dan itu rebutan. Anak itu diperebutkan lalu dikasih makanan yang sebenarnya tidak sesuai kondisinya. Akibatnya anak jadi sakit perut. Relawan juga yang jadi pusing,” cerita Tutty.

Belum adanya kontrol yang baik terhadap LSM menjadi masukan Tutty kepada stakeholder terkait, seperti BNPB, BPBD, maupun Kementrian Sosial. Kontrol ini juga termasuk penanganan awal pascabencana. Ambil alih siapa komando penanganan bencana adalah langkah efektif agar penanganan dapat dilakukan dengan baik.

Begitu manajemen sudah dilakukan dan ada komandonya, semua badan yang berwenang haruslah bekerja sama, termasuk media. Media, menurut Tutty, justru memiliki keuntungan dari segi kecepatan informasi. Hal ini perlu dikoordinir dengan baik oleh komando, agar informasi yang didapat tidak melebar kemana-mana. Semua terpusat dan terpadu di satu pintu.

Pengaturan ini bukan berarti menghambat gerak media, namun mengarahkan media untuk menyebarkan informasi dengan benar. Kesimpangsiuran pemberitaan seputar bencana justru akan menambah trauma.

“Mereka harus kerja sama. Itu cara yang paling ampuh melakukan trauma healing. Begitu manajemen sudah jalan, baru tim ahli tahu apa yang harus dilakukan,” kata Tutty.

Hal yang juga penting adalah, informasi mitigasi bencana harus terus dilakukan oleh BPBD. Jangan sampai menunggu bencana terjadi. BPBD harus konsisten memberikan penyuluhan agar informasi mitigasi ini dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat.

Lalu, bagaimana peran Perguruan Tinggi dalam kondisi tersebut? Unpad sebagai almamater Tutty berkuliah, seharusnya membentuk Crisis Center. Menurutnya, Unpad memiliki banyak potensi keilmuan yang bisa diaplikasikan untuk menangani penyintasan bencana alam.

“Kita ada Kedokteran, Psikologi, ada Keperawatan, Farmasi dan Geologi. Semua punya peran sehingga kita bisa bagi tugas, mana bagian logistik, manajemen, penanganan psikologis, tapi semuanya terpadu dengan nama Unpad,” jelasnya.

Dengan adanya Pusat Krisis ini, Unpad mampu menangani permasalahan bencana alam yang terjadi di Jawa Barat, bukan hanya penanganan awal, tapi juga penanganan sebelum bencana hingga setelah bencana terjadi.

Sejak akhir 1990an, Tutty sudah membantu menangani penyintas bencana alam di Indonesia, mulai dari Tsunami di Banda Aceh dan Pangandaran, Gempa bumi di Pangalengan dan Pariaman, Sumatera Barat, Meletusnya Gunung Merapi, hingga Bencana Sosial di kawasan Maluku Utara.

Berlatar pendidikan Psikologi Budaya membuatnya semakin memahami bagaimana seharusnya berinteraksi dengan para korban yang rata-rata memiliki perbedaan sosial budaya. Namun, alumni Program Magister di Department of Rural Extension Studies, University of Guelph dan Department of Education/Counseling Programme, University of Auckland ini senang bisa membantu banyak orang.

“Saya bisa bantu orang dengan hal ini. Mereka bisa lupa sesaat meskipun masih berada di tenda. Itu yang membuat saya kembali-lagi kembali lagi,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Arief Maulana /eh

Share this: